Teori Mengerti Manusia

0
663

Mungkin agak aneh jika manusia harus diajak mengerti dan memahami manusia. Masak ya, manusia tidak mengerti dirinya sendiri. Masak ya, manusia tidak bisa menghargai jenisnya sendiri. Akan tetapi apa boleh dikata, begitulah kenyataannya sehingga muncul istilah, “homo homini lupus”.

Secara pengertian, para ilmuwan telah menjelaskan tentang “siapa, apa dan bagaimana  manusia” itu menurut perspektifnya masing-masing. Ahli biologi berbicara menurut ruang lingkupnya, antropolog berbicara sesuai dengan disiplinnya,  psikolog dan sosiolog juga berbicara sesuai dengan paradigmanya. Mengerti definisi manusia memang penting, apalagi dari berbagai perspektif, tentu bisa memperluas cakrawala. Akan tetapi yang lebih penting lagi dan akan kami tegaskan disini adalah “mau mengerti atau memahami”  keadaan manusia atau orang lain.

Mengerti secara definisi itu teori/ilmu, tidak ada gunanya manakala tidak dipraktekkan dengan sikap “mau mengerti”. Itu namanya pohon tak berbuah.  Banyak orang yang hanya sekedar ingin tahu dan cukup sekedar tahu lalu emoh mempraktekkan. Ada sarjana pertanian yang tidak mau turun kesawah, apalagi bertani, lulusan tekhnik mesin tidak mau masuk bengkel, sarjana kehutanan tidak mengelola dan melestarikan hutan, dan lain sebagainya. Semua itu sangat mengecewakan. Tetapi Itu semua sebenarnya masih mendingan. Yang amat sangat parah itu, jika manusia yang lahir sebagai manusia dan mengerti manusia, akan tetapi lalu tidak mau “mengerti” dengan manusia, apalagi memanusiakan manusia”

Carut marut hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya serta terancamnya kelestarian alam sebagaimana terjadi akhir –akhir ini, bukan karena mereka tidak mengerti hukum, ekonomi dan semuanya itu. Semuanya itu dikarenakan kurangnya kesadaran kita sebagai manusia untuk berperilaku manusiawi kepada sesama. Homo homini lupus. Siapakah yang tidak tahu bahwa hukum diciptakan untuk melindungi, siapakah yang tidak tahu bahwa ilmu ekonomi dirancang untuk memepemudah manusia mencapai kesejahteraan, siapakah yang tidak tahu bahwa ilmu politik digagas untuk menjamin terwujudnya tertib sosial dan terpenuhinya hak-hak politik warga negara, dan seterusnya, seterusnya. Tetapi kenapa, kenyataannya sangat berbeda…? Ternyata, ancaman terbesar bagi manusia tidak datang dari alam, hewan  atau binatang buas, apalagi dari Tuhan. Ancaman terbesar justru datang dari manusia sendiri Sangat ironis, manakala kita, manusia, lebih suka memerankan peran “antagonis” dalam kehidupan ini dibandingkan dengan peran yang semestinya. Apapun ilmu yang dikuasai manusia, tidak akan berarti bagi kenyamanan hidup manusia, jika minus kemanusian. Kenyatan pahit ini akan kita alami dalam kehidupan sehari-hari,  di rumah-rumah, dijalan, diterminal, di kantor-kantor pemerintahan, bahkan dimasjid dan tempat-tempat pengajian.

Memahami manusia, juga bisa diartikan adanya kesadaran untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain atau melihat orang lain tidak semata-mata dari kaca mata sendiri (sebagai suatu obyek) tetapi bisa menempatkan mereka sebagai subyek seperti dirinya sendiri. Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, karena manusia merupakan cermin bagi manusia yang lainnya. Semuanya bisa berangkat dari dirinya  masing-masing. Apa yang bisa membuat dirimu senang, juga akan bisa menyenangkan orang lain dan apa yang bisa membuat dirimu sedih, sakit hati atau marah, begitu juga dengan orang lain. Kalau diri anda ingin senang, begitu juga orang lain. Dan kalau diri anda tidak mau dibikin susah, orang lain juga begitu. Pendek kata, bisa memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri. Bukan masalah  bisa atau tidak bisa, akan tetapi mau atau tidak. Maukah Anda  menjadi orang yang bisa membahagiakan orang lain sebagimana diri anda, maukah anda untuk tidak menyusahkan orang lain sebagimana diri anda. Itu pertanyaannya.

Memahami kemanusian, mengerti dan memperlakukan manusia secara manusiawi merupakan inti dari ajaran  Sang Bapak kemanusiaan akhir zaman, Muhammad SAW. Agama Islam yang dibawanya dari langit (melalui wahyu) tidak  di-setting untuk kepentingan yang dilangit, melainkan untuk kemaslahatan semesta penduduk bumi. Sang Pemiliknya sendiri menegaskan, “Aku tidak mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” QS:12;107. “Sampaisampai”, setiap kali mau mengutus utusan keluar daerah sebagai pemimpin didaerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya, Beliau selalu berpesan, “jika salah seorang dari  kamu menjadi imam shalat, maka ringankanlah. Sesungguhnya diantara mereka itu terdapat orang yang lemah, sedang sakit dan lanjut usia. Jika kamu shalat sendirian, panjangkanlah sesuka hatimu”. HR.Malik, Nasa’i dan Ahmad.

Ada pesan kemanusiaan yang begitu dalam dan tegas dari sabda beliau tersebut. Jika didalam shalat saja yang merupakan realisasi hubungan vertikal dengan Allah SWT yang paling inti dalam Islam, begitu tegas statemen dan concern beliau terhadap kemanusiaan, apalagi pada ranah sosial yang merupakan wilayah manusia dengan manusia. Jika mengabaikan aspek kemanusiaan pada saat seseorang melangsungkan hubungan vertikal dengan Penciptanya saja beliau larang, apalagi ketika memang sedang berhubungan dengan sesama manusia. Seseorang yang mau ittiba’ rasul atau menghidupkan sunnah rasul, harus  concern kepada kemanusian sebagimana Rasulullah. Aspek kemanusiaan ini tidak boleh begitu mudahnya untuk diabaikan hanya karena kepentingan – kepentingan skala pendek, karena untuk yang skala panjang sekalipun, seperti ibadah, itu tidak boleh dilakukan.

Kalimat Tauhid, laa ilaaha illallah, tidak hanya diartikan sebagai mengesakan penyembahan kepada Allah semata, akan tetapi juga membebaskan manusia dari segala otoritas yang membelenggu dan mendominasi kehidupannya serta mendeklarasikan persamaan manusia karena hanya Tuhan yang berhak disembah dan dikultuskan. Siapapun yang mengeluelukan diri atau memperbudak orang lain semauannya, berarti telah melawan inti ajaran Islam tersebut.  Sampai kini, dalam era demokrasi, keterbukaan dan kesetaraan ini, manusia belum mencapai kedudukan dirinya sebagai manusia. Manusia terperangkap kedalam hegemoni berhala baru yang bernama materi. Semuanya menghambakan diri, tunduk patuh menjadi hambanya, kecuali orang-orang yang mendapatkan pencerahan . Segalanya, identitas, integritas dan intelektualitas dikorbankan dan dipersembahkan kepada berhala baru tersebut. Didalam ekonomi berlaku jargon yang berbunyi, “yang penting untung”. Ekonomi kita dibangun diatas doktrin – doktrin ekonomi kapitalistik yang eksploitatif dan tidak manusiawi. Didalam politik berlaku jargon yang berbunyi, ”yang penting menang” Hubungan antara politisi dan rakyat bersifat transaksional material dan bukan antara pemberi amanah dengan penerimanya. Penguasanya membeli, rakyatnya menjual. Kekuasaan politik menjadi komoditas transaksional antar keduanya. Politics is or as politics, bukan sebagai tool dalam membela kepentingan manusia. Didalam hukum berlaku jargon yang berbunyi, “semuanya bisa diatur”. Penegak hukum menjual  “kebenaran-kebenaran formal yang semu“ kepada mereka yang berkepentingan. Semuanya bisa direkayasa dan ditransaksikan. Muncullah istilah “kriminalisasi” atau “pemetie san”. Bahkan “agama” juga seringkali dikhutbahkan dan dijalankan dengan cara yang sebegitu paradoksnya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan inti dari missinya. Kalimat Allahu Akbar dikumandangkan dengan hunusan pedang, kalimat Laa ilaha illahpun menjadi mantera untuk menakut-nakuti orang lain.  Tidakkah itu termasuk dalam pernyatan Ali bin Abi Thalib, “kalimat yang benar (haq) yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang bathil”[1] Maka kinilah saatnya, saya katakan bahwa “pintu surga adalah memanusiakan manusia”.

Author: Muzammil, Yogyakarta

 



[1] Al Nasafiy, Abul barokat, Madarik al tanzil wa haqo’iq al ta’wil, Juz III, hal.246

Tinggalkan Balasan