Saat ini masyarakat kita telah memiliki standart penilaian kepada para sarjana. Setiap mahasiswa yang sudah dinobatkan sebagai sarjana pasti tidak lepas dari penilaian tersebut. Tidak menjadi masalah jika penilaian masyarakat itu berstandart pada nilai-nilai moralitas dan intelektual. Namun penilaian itu ternyata sangat naïf bahkan konyol sekali, sebab standart penilain mereka didasarkan pada material dan kedudukan. Jadi, sarjana yang sudah meraih keseksesan dengan dua penilaian tersebuat, masyarakat menobatkan dia sebagai sarjana yang sukses.
Sehingga, ketika ada sarjana yang kemudian tidak memiliki ukuran material atau kedudukan yang dia raih, maka dia tidak dianggap sukses. Semsisal, ada sarjana yang sudah mengajar di sekolah-sekolah atau madrasah, tapi dia secara material sangat rendah atau tidak memiliki kedudukan yang tinggi, maka dia tidak dianggap sukses.
Akibatnya, banyak mahasiswa yang merasa minder ketika dia akan menjadi sarjana, minder bukan karena tidak siap menjadi sarjana, melainkan karena takut pada penilaian masyarakat jika kemudian dia tidak memiliki pekerjaan yang mapan atau pengahsilan yang besar.
Bahkan kadang ada sarjana yang sudah mengajar di berbagai sekolah dan perguruan tinggi, dia masih merasa tidak sukses, karena dia terusik oleh penilaian masyarakat yang setiap hari hinggap di telinganya. Semisal ada ungkapan, “ah, si Bakri yang mengajar ke mana-mana, dia tetap miskin. Coba lihat si Jukri, meski dia gak sarjana dan ngajar, dia sudah kaya tuch”.
Akibatnya juga bagi masyarakat, ketika mereka menilai kesuksesan seorang sarjana dengan materi dan kedudukan, mereka enggan menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi, atau malah tidak disekolahkan sama sekali. Mereka berdalih, “sekarang meski sudah sarjana tetap gak bisa cari kerjaan, malah jadi pengangguran. Mending anak saya disuruh kerja mulai sekarang, biar nanti kalau sudah besar bisa hidup mandiri”.
Contoh konkrit penilaian masyarakat yang didasarkan pada materi dan kedudukan adalah alumni sarjana yang menjadi tokoh masyarakat yang memiliki banyak tamu penting, guru atau dosen PNS yang memiliki gaji besar, DPR, Bupati, Gubenur dan lain sebagainya.
Sarjana yang menjadi orang seperti di atas, itulah menurut masyarakat sarjana yang baik dan sukses. Jika kita pahami, sepertinya kebaikan dan kesuksesan seorang sarjana benar-benar diukur dari kekayaan, status sosial, pangkat, dan kedudukan. Sementara asarjana yang tidak menjadi orang tersebut meski sudah memberi manfaat dengan banyak mengajar, dianggap sebagai sarjana yang tidak baik dan tidak sukses.
Masyarakat mengira kampus itu pabrik yang akan membuat anaknya memiliki penghasilan uang yang besar. Mereka anggap ijazah itu lembaran takdir yang bisa merubah anaknya mejadi sukses seketika mejadi sarjana, atau ijazah itu dianggap sebagai catatan takdir yang menyatakan anaknya sukses secara material atau kedudukan. Mereka anggap toga itu baju kebesaran yang bisa mengalahkan kebesaran Allah. Mereka anggap seorang sarjana itu anaknya Tuhan yang terlahir sejak dinobatkan segabai sarjana, yang kemudian bisa meminta kesuksesan kepada Tuhan dengan cara mengajukan ijazahnya.
Sungguh sangat konyol sekali ketika kesuksesan seorang sarjana dinilai dari maetri dan kedudukan.
Author: Muhammad Taufiq Maulana, Kubur Raya, Kalimantan barat