Tasawuf Vs Fiqh; Implikasinya Terhadap Pendidikan Pesantren

0
566

Ketika kita menjelajahi dinamika pemikiran pesantren, maka kita akan menemukan betapa  tasawuf dan fiqh secara riil mendominasi pemikiran dalam kehidupan pesantren. Pesantren yang dipersepsikan sebagai pendidikan tradisional memiliki sejarah kuat bagaimana dua keilmuan tersebut mengalir kuat didalamnya . Hal tersebut bisa diketahui ketika kita menjelajahi historic dan kehidupan dunia pesantren yang berumur berabad-abad serta melakukan eksplorasi kreatif di dalam dua pemikiran tersebut.

Tasawuf dan fiqh memilki sejarah keilmuan yang panjang dalam membentuk pemikiran keduanya, masing-masing. Bagaimana keduanya pernah mengalami perang pemikiran yang bisa diketahui ketika menjelajahi kitab-kitab klasik (kuning) yang berkarakter fiqh murni. Banyak bantahan-bantahan ahli fiqh terhadap ritual keagamaan yang dilaksanakan para sufisme yang tertuang dalam karangan kitab-kitab mereka. Tidak jarang bentrok pemikiran tersebut beakhir dengan bantahan ketidaksetujuan bahkan sampai pada wilayah membid’ahkan.  Inilah dinamika sebuah proses pengkayaan dari sebuah pergumulan intelektual keilmuan yang berakhir dengan damai antara keduanya. Seperti yang terekam dalam salah satu redaksi kitab fiqh murni berikut ini:

 أسنى المطالب – (ج 3 / ص 184)

( وَلَوْ تَقَرَّبَ إلَى اللَّهِ ) تَعَالَى ( بِسَجْدَةٍ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ حَرُمَ ) وَلَوْ بَعْدَ صَلَاةٍ كَمَا يَحْرُمُ بِرُكُوعٍ مُفْرَدٍ وَنَحْوِهِ ؛ لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Kelahiran tasawuf secara historic memang berbeda dengan kelahiran fiqh. Jika fiqh dilahirkan dari sebuah pemikiran yang berangkat dari sebuah pencarian kompilasi hukum dari setiap tindakan manusia dengan legalitasnya dalam nash-nash. Maka tasawuf berangkat dari sebuah pergulatan politik ketika itu sebab elit politik yang hidup secara hedonis. Elit politik pada masa Muawiyah bin Sufyan yang tidak hanya bersifat despot terhadap masyarakatnya tapi juga lebih mempriotaskan hidup secara mewah. Karakter yang ada pada zaman Muawiyah tersebut berbanding seratus delapan puluh derajat dengan kehidupan yang dilalui pada masa rasul. Sehingga menimbulkan friksi-friksi antara elit politik dengan kalangan yang terdiri dari sahabat dan tabiin yang menjadi oposisi dengan menggugat sang penguasa dan meneriakkan pemikiran untuk menginginkan kembali agar nilai-nilai spiritual islam yang pernah heroik pada masa rasul itu kembali dilaksanakan, yaitu hidup zuhud (asketis). Mereka menginginkan kembali agar idealitas islam pada masa rasul di hadirkan kembali dalam kehidupan mereka dengan menjauhi perkara dunia. Seperti terungkap dari perkataan antipati  imam Hasan al-Basry terhadap Muawiyah ketika itu:

“Dulu kami menjumpai kaum yang sangat zuhud walau terhadap barang yang halal, daripada kamu sekarang yang sangat zuhud dari menghindari barang-barang halal”

Demikianlah seterusnya Tasawuf dengan pemainya disebut sufi itu secara perlahan telah berhasil membangun realitas dengan eksistensinya pada masa itu. Realitas yang  akhirnya terkonstuk dengan baik itu telah berhasil menggiring kaum sufisme ketika itu untuk menyebarkan pemikiran tersebut yang pada akhirnya berevolusi lagi menjadi sebuah paradigma. Tepatnya paradigma tasawuf.  Tasawuf yang mengkonsepsikan dunia sebagai antonim dari idalitas akhirat yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman, menatap wajah Tuhan sehingga dunia idientik dengan apa saja yang melupakan dari Tuhan (siroju thalibin hal 195 jilid 1).             

Berangkat dari itu telah menggiring para pengikutnya untuk hidup secara totalitas menjauhi perkara yang berbau kefanaan. Sehingga terkadang banyak para sufi terjebak dalam relitas tersebut dan menjauhi dunia secara over dosis. Inilah yang kemudian menjadi bahan kecurigaan bagi kalangan Fukaha terhadap para sufi yang langkah kehidupan mereka dinilai sebagai sesuatu yang profan  dan  dipersepsikan  sebagai pemikiran yang berusaha melepaskan diri dari ketatnya praktik-praktik syari’at demi melenggengkan karakter pemikiranya yang bersifat esetorik yang bahkan sampai melepas baju syari’ah dari sisi praksisnya.

Walaupun pada awalnya tasawuf menjadi pemikiraan yang dicurigai. Namun dengan bergulirnya waktu kecurigaan tersebut berubah menjadi sebuah penasaran yang sangat bagi kalangan intelektual muslim ketika itu. Sebab, bagaimanapun juga tasawuf merupakan bagian dari integral pemikiran agama islam yang membutuhkan perhatian khusus. Sehingga banyak kalangan intelektual yang berbondong-bondong untuk mencurahkan perhatian terhadap  kajian tasawuf ini. Tapi, dengan banyaknya para intelektual yang berimigrasi pada pemikiran tasawuf malah menambah rumit pemikiran itu. Tasawuf keluar dari nilai orisinilnya dengan disusupi pemikiran dari luar berupa ilmu kalam, filsafat dan fikh. Sehingga tasawuf bergerak evolutif ke arah pemikiran yang lebih fresh membelahnya menjadi tasawuf falsafi dan sunni.

Adalah al-Ghozali salah seorang tasawuf aliran sunni yang berhasil mengkolaborasikan dua pemikiran itu, fikh dan tasawuf. Melalui kasya-karyanya ia mencoba menegaskan kembali supremasi kehidupan spiritual dalam kerangka syari’ah sambil memberikan nyawa bagi ajaran-ajaran spiritual yang termuat di dalamnya. Demikian pula ia mengkritik kaum esetoris yang meremehkan dan meniadakan perintah-perintah syari’at (Jurnal GERBANG, 1998. hal-123). Kecermatanya membongkar dan mendamaikan rasionalitas ilmu kalam, operasional ilmu fikh dan argumentasi filsafat telah menghasilkan satu kolaborasi yang spektakuler yaitu fikh-sufistik. Sehingga tidak heran jika al-Ghozali diangkat sebagai  the founding father fikh-sufistik didalam dunia keilmuan islam.

Hal itu bisa kita identifikasi dari beberapa karangan kitabnya  yang memadukan konsep substansi tasawuf dan formalitas fikh yang paling sering diajarkan di pondok-pondok pesantren di Indonesia.Tentu hal tersebut tidak lepas dari islamisasi yang dilakukan oleh pendakwah islam di Nusantara yang masih terkena imbas dari pemikiran-pemikiran al-ghozali pada abad ke -13 (esai-esai pesantren, hal 222). Al-ghozali yang berakidah mengikuti al-Asy’ari dan bermzhab mengikuti imam As-syafi’i secara tidak langsung diangkat sebagai bapak tasawuf Sunni (ahlussunah waljamaah) yang diikuti oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan kemudian jika fikh-sufistik menjadi kental terasa dalam pendidikan pondok pesantren.

Akhirnya tiada anak yang baru lahir menjadi seorang yang langsung dewasa. Begitu juga dengan sebuah pemikiran yang membutuhkan sebuah proses untuk sempurna menjadi sebuah kajian keilmuan. Ketika kita mengkaji historic pemikiran Fikh dan tasawuf kita akan menemukan bahwa fikh dan tasawuf  memerlukan periodisasi pemikiran dari para penggeliatnya. Konstruk sosial yang mengelilinya ikut juga memberikan sebuah dinamika sehingga terkadang menginginkan sebuah pembaharuan sebab ketidakpuasan kepada konstruk social tersebut. Ketika fikh dan tasawuf pernah mengalami bentrok pemikiran sebenarnya adalah sebuah perwujudan untuk menjadi lebih sempurna bahkan keduanya harus saling disatukan. Al-ghozali menjadi suksesi kolaborasi kebuanya yang diteruskan oleh genarasi sesudahnya bahkan dapat dirasakan sampai saat ini di dalam pendidikan pondok pesantren.

Kini dengan evolusi keduanya yang berkarakter fikh-sufistik itu tidak bisa dipungkiri telah menjadi sebuah idientitas bagi keilmuan pendidikan pondok pesantren yang harus di lesatarikan. Ketika fajar globalisasi dan modernisasi menciptakan sebuah perubahan baru, pondok pesantren harus tidak melepas  idientitisnya itu. Pesantren yang saat ini masih berusaha kuat memposisikan diri dalam suasana islam scientific harus mengarahkan pemikirannya kepada fikh-sufistik. Sehingga subuah harapan the will of power menjadi terealisasi di dalam agama islam dengan menjadikan pondok pesantren sebagai pionernya. Sekian, Wallahu a’lam.

 

 

Tinggalkan Balasan