Perdebatan tentang Sholat Rabu Wekasan

0
635

Menurut sebagian orang bulan Shafar adalah bulan yang seram dan angker. Bulan ini diyakini sebagai bulan pembawa sial (naas). Pada bulan ini konon turun berbagai macam wabah dan malapetaka. Kalau tidak hati-hati siapapun akan ditimpa malapetaka yang mengenaskan. Karena itu siapa saja harus benar-benar waspada! Jika tidak, ia kan menyesal dikemudian hari. Kenyataan ini sudah turun temurun sudah demikian melekat di hati sebagian masyarakat kita.

Banyak cara yang dilakukan dalam mengekspresikan kewaspadaan tersebut. Ada yang membikin bubur. Ada yang meminum air berisi rajah (mantra bertuliskan arab). Bahkan saking ekstrimya, ada yang tidak mau menikah dan bepergian jauh pada bulan ini. Khusus hari rabu bulan ini, umumnya mereka rame-rame sholat lidaf’il bala’ ( tolakbala’). Atau yang lebih populer disebut “sholat rabuwekasan”. ini semua merupakan ritual untuk menangkal setiap bala’ yang diyakini bakal turun.

Menyikapi persoalan ini, hingga detik ini terjadi pro-kontra di tengah masyarakat. Bagi yang pro akan benar-benar mensakralkan bulan ini. Sehingga berbagai ritual dan ibadah dilakukan. Sementara bagi yang kontra, menganggap semua itu sebagai mitos belaka. Sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Konsekuensinya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

TA (Tanwirul Afkar) edisi ini akan menjelentrehkan persoalan tersebut secara proporsional. Tentunya,-sebagaimana ciri khas TA-dari perspektif fiqh. Untuk itulah, ada sederet pertanyaan yang patut diajukan di sini. Bolehkah meyakini bulan Shafar sebagai bulan sial (naas)?. Bagaimana pandangan fiqh terhadap ritual pada bulan ini ? apakah sholat Rabu Wekasan itu? Bagaimana tata caranya? Benarkah semua itu tidak ada dasar hukumnya?

Sebelum menjawab pertanyaan sederet di atas, terlebih kita melacak asal muasal keyakinan turunnya bala’ pada bulan shafar ini. Jika kita cermati, boleh jadi mereka mendasarkan kepada kitab yang kesohor di Jawa, yaitu kitab MujarrabatMujarrabat bentuk jamak dari Mujarraba atauMujarrab. Asal arti harfiahnya ; hal-hal yang sudah dicoba. Kira-kira maksudnya, ya manjur atau mujarab. Kitab yang berisi demikian bukan hanya satu versi. Ada yang melulu  berisi  do’a, suwuk, rajah azimat dan sebagainya ada juga yang dirangkai dengan cara-cara ibadah seperti sholat, puasa, haji dan sebagainya.

Konon bala’ itu turun pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Itulah yang akhirnya disebut-sebut dengan rabu wekasan. Dalam tadzkirah Ulul al-Bab atau Mujarrabat-nya Shakh Ahmad Dairoby diakhir bab XVIII, disebutkan “dari kalangan orang-orang arif dan ahli kasyf(terbuka mata hatinya) ada yang menuturkan bahwa setiap tahun turun 3200 bala’(malapetaka), dan itu semua turun pada rabu terakhir bulan Shafar. sehingga hari itu menjadi hari paling naas dalam satu tahun. Barang siapa yang hari itu sholat empat rakaat, setiap rakaat sesudah alfatihah membaca Surat al-Kaustar tujuh belas kali, al-Ikhlasal-Falaq dan an-Nass masing-masing satu kali, lalu membaca do’a (khusus) maka Allah dengan sifat belas kasihNya menjaga orang tersebut dari seluruh bala’ yang turun pada hari itu. Dan sekelilingnya tidak akan terserang bala’ sepanjang tahun”. (mujarrabat al-Dairaby, 74 ;Tadzkiroh Ulul al-Albab, juz 11, 195 ; Kanz an-Najah Wa as-Surur, 26-27). Uraian inilah yang sering dijadikan referensi bagi sebagian kaum muslimin dalam ‘mengsakralkan’ bulan Shafar dan sholat rabu wekasan. Yang jelas, semua ini dibangun berdasarkan perkataan seorang ahli kasyf(menurut al-Antoky dan Abdul Hamid Qudsi , ahli kasyf itu bernama syaikh Muhammad Al-Ghous). Tidak bersumber dari teks al-Qur’an atau al-Hadist. Jika demikian, lalu bagaimana hukum meyakini hari tersebut sebagai hari turunnya bala’? Ada hadist nabi yang menjelaskan persoalan ini :

لَاعَدْوَى وَلَا هَامَ وَلَا صَفَرَ

Artiya :” Tidak ada naas ketika berhadapan orang sakit, tidak ada naas ketika ada burung hantu, tidak ada naas pada bulan shafar (muwatha’,629).

Hadis ini sebagai reaksi kepada tradisi jahiliah yang muncul ketika itu. Di antara tradisi itu adalah menganggap bulan shafar sebagai bulan naas. Menurut bulan ini menurut mereka penuh dengan bala’ dan malapetaka. Selama di bulan tersebut, mereka tidak berani menikah, bepergian jauh dan keluar dari rumah. Bahkan saking takutnya mereka mengakhirkan bulan Muharram hingga masuk bulan Shafar. dengan kata lain, menjadikan bulan shafar  menjadi bulan muharram. Melihat kenyataan yang meresahkan ini, Nabi berusaha meluruskan pandangan yang keliru ini. Lalu datanglah hadis di atas. Karena dalam pandangan islam, shafar adalah sebagimana bulan lainnya. (Kanzu an-Najah Wa as-Surur, 35 ; Nafahat al-Islam Min Baladi al-Haram, 382).

Berdasarkan hadis di atas, maka keyakinan tentang turunnya bala’ di bulan shafar patut dipertanyakan. Karena sama sekali tidak ada dasar al-Qur’an maupun al-Hadist yang menjelaskan hal itu. Yang ada justru hadis yang melarang ber-tasya’um (menganggap adanya malapetaka) terhadap bulan tersebut.

Lalu bagaimana dengan komentar ahli kasyf di atas. Para ulama’ berselisih pendapat tentang kebolehan menjadikan ilham ahli kasyf sebagaihujjah (dasar hukum). Menurut jumhur ulama’, hal ini tidak bisa dijadikan hujjah. Alasannya karena ahli kasyf tidak ma’shum (terjaga dari dosa) sebagaimana seorang Nabi. Sedangkan menurut kalangan ahli sufi, ilham bisa dijadikanhujjah bagi yang bersangkutan, tidak untuk orang lain. Kedua pendapat ini , secara gamblang sama-sama menegaskan ketidakbolehan berhujjah dengan semata-mata menggunakan ilham orang lain. (Jam’ul al-Jawami’, Juz 11, 356 ; al-Atthor, juz 11, 394).

Apakah hal ini secara otomatis melarang praktik sholat rabu wekasan? Tunggu dulu!. Sebab, ternyata ada hadist Abu Hurairah yang secara eksplisit menjelaskan hal iti :

مَااجْتَمَعَ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ لِلَّهِ فِي اَخِرِ اَرْبَعَاءَ مِنْ صَفَرَ اِلّا نَجَّاهُمُ اللهُ مِنَ الْكَوَارِثِ

“tidaklah berkumpul suatu kaum yang sholat semata-mata karena allah pada hari rabu terakhir bulan shafar kecusli allah menyelamatkan mereka dari mala petaka” (HR.Thabrani).

Secara eksplisit, hadis ini menjelaskan adanya anjuran sholat pada hari rabu terakhir bulan shafar. Akan tetapi hadis ini tidak secara tegas, menamainya dengan “sholat rabu wekasan“. Sebaliknya, teks tersebut mengindikasikan bahwa sholat yang dimaksudkan adalah sholat sunnah lain yang disyariatkan. Dengan kata lain, tidak diniati untuk sholat rabu wekasan itu sendiri.

Dengan demikian, kalau masih ada yang ingin mengerjakan sholat rabu wekasan, niatnya saja diubah. Jangan niat sholat rabu wekasan, tapi niat sholat hajat (hajatnya menolak bala’, misalnya) atau sholat sunnah mutlak begitu saja. Mereka jadi panutan, mesti menjelaskan persoalan ini kepada jamaahnya.

AIR RAJAH DAN BUBUR SAFAR

Salah satu tradisi untuk Rabu Wekasan adalah minum air berisikan rajah. Raja itu bertuliskan tujuh ayat dari al-Qur’an. Yakni terdiri dari ; salamun qaulam mirrabbirrahim, salamun’ala nuhin fil’ alamin, salamun ‘ala Ibrahim, salamun ‘ala musa wa harun, salamun ‘ala ilyasin, salamun thibtum fadkhuluha kholidiin dan salamun hiya madla’il fajr. Menurut sebagian ahli hikmah, barang siapa yang minum air tulisan rajah ini insya Allah akan bisa selamat dari malapetaka. (Nihayatu al-zain 67).

Melihat praktik ini, ada sebagian masyarakat yang merasa keberatan. Tidak lain karena hal ini diangggap sebagai perbuatan bid’ah. Baiklah, Memang tidak ada dalil yang menjelaskan persoalan ini. Namun jika kita amati, praktek ini dapat dikategorikan tabarrukan terhadap al-Qur’an. Menurut sebagian ulama’ hal tersebut boleh-boleh saja. Dengan catatan, tidak meyakini air tersebut yang bisa menyelamatkan dia. Sebaiknya, ia harus berkeyakinan yang mendatangkan manfaat dan mudharat adalah Allah. Sedangkan, yang ia lakukan hanya sekedarikhtiar (usaha). (Yasalakuna, juz V11, 539).

Tapi bagaimana dengan tradisi membagi-bagikan bubus shafar? Jika kita renungkan, pemberian bubur Shafar ini pada esensinya bermakna sedekah. Dengan demikian, berarti kan tidak ada masalah. Bukankah kapan dan dimana saja kita dianjurkan bersedekah. Bukankah kata Nabi , shadaqah itu bisa menolak bala’. Beliau bersabda :

اِنَّ الصَّدَ قَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتُدْفَعُ مَيْتَةَ السُّوءِ

  “sesungguhnya sadaqah itu bisa memadamkan murka tuhan dan menolak dari mati dalam kondisi buruk”. (Sunan Turmudzi, juz 11, 149).

Jika paradigmanya demikian, berarti sah-sah saja membagi-bagikan bubur pada saat bulan shafar. Bahkan hal itu jelas perbuatan sunnah. Dengan catatan, jangan diniati semata-mata kekeramatan bulan shafar. Sebaiknya harus murni karena Allah SWT.

‘ala kulli hal, silahkan melakukan ritual apa saja di bulan shafar. Asalkan ritual itu tidak bertentangan dengan syara’. Dan yang terpenting, jangan menganggap bulan ini sebagai bulannaas. Sebab semua nasib baik dan buruk datangnya dari Allah swt. La haula wala quwwta illa billah al-aliyyi al-adzim. (mahadaly)

Tinggalkan Balasan