Seharusnya tak Ada Alasan Bergalau-ria

0
392

Banyak sekali ketika kita melihat jejaring sosial yang semakin melulu berisi keluhan dan ratapan. Hingga sampai-sampai tidak ada ruang untuk tulisan-tulisan yang memotivasi dan menginspirasi.

Suksesnya jejaring sosial semisal facebook dan twitter memasuki rumah remaja-remaja Indonesia, mulai berdampak negativf terhadap semangat pemuda-pemudi Indonesia. Istilah alay, galau, dan teman-temannya mulai akrab dengan kita. Produktifitas, semangat belajar, semangat mengajar, semangat bekerja, dan lain sebagainya semakin menurun.

Kita lebih semangat ketika berkutat dengan handphone berdetik-detik, bermenit-menit, hingga berjam-jam. Tak kenal tempat, di sekolah, di jalan, di kantor, dalam kendaraan, di tempat makan, dalam Ā kamar mandi dan dimanapun itu asalkan update tetap jalan tak jadi masalah.

Fasilitas berbicara sebebas-bebasnya mungkin yang membuat facebook, twitter, dan semisalnya menjadi sarana ternyaman menyampaikan isi hati. Baik ataupun buruk sekalipun. Termasuk berkeluh-kesah didalamnya.

Bergalau

Entah istilah apa yang tepat untuk disematkan kepada orang-orang yang sering menyampaikan aktifitas kesedihannya dalam jejaring sosial. Hati yang sedang dirundung galau sepertinya juga tidak terlalu peduli dengan hal itu. Yang lebih mereka pedulikan adalah bagaimana caranya agar kekalutan mereka bisa mereka keluarkan secepatnya. Tak peduli lagi setelahnya, komentar baik atau buruk tentang update-annya tak jadi soalan.

Terlebih ketika bergalau tentang perasaan, rasa sayang, rasa cinta, cinta, dan, cinta menjadi favourite update.Ā  Padahal kebanyakan meraka pun masih berstatus pelajar sekolah. Mana tahu soal cinta, mengerjakan PR saja mencontek, jajan pun masih dianggarkan.

Saat hubungan mengalami masalah tak jarang update-an pertengkaran muncul dibawah nama akunnya. Padahal masalahnya pun sepele, paling tidak lebih dari kurangnya perhatian, jarang sms, jarang nelpon, cuek, backstreet dengan yang lain, dan semisalnya. Jika saja ingin berfikir sehat, tak perlu repot-repot dengan hal itu. Toh masa depan kita masih panjang, umur masih terlalu muda, masih banyak hal lain yang lebih penting untuk diperjuangkan, untuk ā€œdigalaukanā€ dan dicari pemecahannya.

Aduhai hati-hati yang rapuh, Tak kasihankah dengan perjuangan orangtuamu dalam mencari biaya sekolah dan penghidupanmu? Sementara dirimu lebih sibuk dengan cinta semu dan penuh main-main itu?

Galau Itu Menular

Status galau yang terposting dalam beranda jejaring sosial otomatis akan menjadi konsumsi publik, khususnya mereka yang berteman dengan akun pemilik. Layaknya umpan, status galau yang terbit akan memancing status-staus galau lainnya, terlebih mereka yang senasib.

Sepertinya ada hal keren yang didapat ketika orang lain mengetahui kegalauan kita, setidaknya rasa perhatian. Perhatian dari orang yang dikenal ataupun tidak, thatā€™s no problem.

Jika sudah seperti ini maka galau akan menjadi trending topic bagi kalangan fesbukers, twiterres, atau entahlah apa itu sebutannya. Kata-kata ā€œmove-on, galau nich, kamu jahat, tega banget, emoticon L, emoticon T_T, lambang -__-, symbol Y_Yā€, dan lain semisalnya sudah tak asing lagi. Jika air mata nyata tak bisa merubah keadaan, ā€œair mata digitalā€ pun solusinya.

Tak Ada Alasan Bergalau

Aduhai, apakah sesingkat itu dunia ini? Apakah sesederhana itu kehidupan ini? Jika saja kita ingin membuka mata kita, membuka hati dan fikiran kita kepada dunia luar, tidak melulu berurusan dengan galau yang tidak jelas itu, maka kita akan dapati bahwa sesungguhnya kita tidak punya alasan untuk bergalau seperti itu.

Zhang Da– Seorang anak dari China pada 27 Januari 2006 mendapat penghargaan tinggi dari pemerintahnya karena dinyatakan telah melakukan ā€œPerbuatan Luar Biasaā€. Diantara 9 orang peraih penghargaan itu, ia merupakan satu-satunya anak kecil yang terpilih dari 1,4 milyar penduduk China. Yang membuatnya dianggap luar biasa ternyata adalah perhatian dan pengabdian pada ayahnya, senantiasa kerja keras dan pantang menyerah, serta perilaku dan ucapannya yang menimbulkan rasa simpati.(apakabardunia.com)

Iwan Setyawanā€”Penulis buku 9 Summers 10 Autumns. Novel ini ditulis berdasarkan kisah nyata perjalanan hidup Iwan yang berasal dari keluarga pas-pasan. Ayahnya seorang sopir angkot yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP. Sedangkan ibunya yang tidak tamat SD, digambarkan Iwan sebagai cermin kesederhanaan yang sempurna. Iwan memiliki 4 saudara perempuan yang disebutnya 4 pilar kokoh.

Iwan mengisahkan, di rumahnya yang mungil dan hampir tak berhalaman, ia dan 4 saudara perempuannya (2 kakak dan 2 adik), serta ibu dan bapaknya, berbagi dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil, satu dapur, dan satu kamar mandi. Ia menulis, ā€œSebagai anak laki satu-satunya, aku selalu berpindah-pindah tempat tidur. Dari kamar ibu bapakku, kamar kakak perempuanku, ruang tamu, dapur, sampai tidur dengan kakek nenek di rumah bambu mereka yang berlantai tanah, di sebelah rumah kami.ā€

Hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, ternyata tidak mematahkan semangat Iwan ā€“ juga kakak dan adiknya ā€“ untuk menggapai cita-cita yang tinggi. ā€œDi tengah kesulitan, kami hanya bisa bermain dengan buku pelajaran dan mencari tambahan uang dengan berjualan pada saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar sayur,ā€ tulis Iwan. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dapat membentangkan jalan keluar dari penderitaan dan mengubah hidup seseorang.(indonesiaproud.wordpress.com)

Asingkah nama-nama diatas? Dua dari sekian banyak kisah yang menginspirasi. Mungkin rasa galau telah menutup akal, fikiran dan ruhani kita. Kita lebih asik tenggelam, menangis didalamnya. Sehingga kita tidak dapat melihat dunia yang begitu luas, begitu, indah, dan begitu menginspirasi itu.

Author:Ā Suandri Ansah,Ā Universitas Negeri Jakarta

Tinggalkan Balasan