Sejak awal Islam tidak mengajarkan “istilah” pacaran. Akan tetapi, yang dikenal dalam Islam adalah istilah ta’aruf, yaitu saat seorang lelaki ingin mempersuntuing seorang wanita. Sebelumnya, dilakuakan ta’aruf [perkenalan]. Saat itu Islam memperbolehkan untuk saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Untuk saling mengenal satu sama lain tidak hanya membutuhkan waktu satu atau dua jam saja. Tapi bisa saja satu sampai dua minggu, atau bulan, mungkin juga bertahun. Baru kemudian dilanjutkan dengan tahap pertunangan. Setelah itu, bisa berlanjut pada jenjang yang diharapkan dan dinantikan, yaitu pernikahan.
Dalam ta’aruf ada etika yang harus diperhatikan. Mengingat pada tujuan diutusnya pemimpin kita Nabi Muhammad saw. adalah untuk merubah etika umat. Sebagaimana sabda beliau saw:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Berbeda halnya dengan pacaran yang dikenal sekarang. Istilah pacaran dengan ta’aruf sekilas memang ada sedikit kemiripan, yaitu sama-sama masa mengenal antara lawan jenis. Namun, istilah pacaran zaman sekarang bukanlah yang dimaksud dalam ajaran Islam. Karena pacaran yang dikenal sekarang merupan masa pengenalan diri kepada lawan jenis tanpa diiringi dengan niat yang baik. Artinya, pacaran tidak pernah diiringi minat serius untuk melanjutkan pada jenjang yang lebih serius juga.
Dari sini sudah tampak jelas perbedaan antara kedua istilah tersebut. Ini bisa dibuktikan dengan realita yang terjadi. Sudah banyak orang yang berpacaran hanya untuk sekedar mengenal seseorang lebih jauh, tapi belum ada minat untuk mempersunting bahkan untuk menikahi. Bukankah ini juga tindakan yang secara tidak langsung mempermainkan harkat dan martabat perempuan? Sementara Islam mengajarkan sebaliknya, menjunjung tinggi wanita di mata umat.
Praktiknya, pacaran lebih sering memotivasi seseorang untuk bergonta-ganti pasangan tanpa tujuan yang jelas. Sementara ta’aruf mengajarkan seseorang untuk meng-istiqomah-kan[1] hati hanya pada satu hati, bukan dua atau lebih. Pacaran lebih tidak mengenal etika dalam menjalin hubungan. Sementara ta’aruf lebih bermoral dalam menjalani hubungan. Buktinya, banyak hal-hal negativ yang tampak jelas dari pacaran.
Seorang siswi SMA yang awalnya rajin pulang sekolah tepat waktu, semenjak mengenal istilah pacaran bersama salah seorang temannya, jadi lebih sering pulang ke rumah tidak pada jam biasanya. Selang beberapa bulan, ternyata terbukti bahwa dia sedang hamil bersama pacarnya.
Kejadian yang serupa dengan cerita singkat di atas banyak sekali ditemukan. Ada juga kejadian pembunuhan akibat cemburu karena pacarnya selingkuh. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang negative sebagai konsekwensi dari pacaran. Coba saja perkenalan yang sebagaimana diajarkan Islam yang dilakukan, pasti tidak akan banyak kejadian-kejadian hamil di luar nikah, pemerkosaan, pencabulan, pembunuhan, bunuh diri, pengeksposan foto bugil, dsb.
Justru pacaranlah yang menyebabkan rusaknya moral bangsa kita. Pacaran juga yang mengajarkan berbuat maksiat dan menjadi salah satu pelopor tindakan kriminal. Dengan realita yang sudah jelas di depan mata, apa masih belum cukup jelas bahwa pacaran merupakan aktifitas yang berdampak negativ lahir dan batin?
Coba dibandingkan dengan ta’aruf! Sejak awal diperbolehkannya ta’aruf adalah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan. Sehingga dalam pelaksanaannyapun ada etika yang harus dilakukan. Diantaranya tetap menjaga pandangan dan jarak antara satu sama lain, berbicara sekedarnya saja. Untuk mengetahui lebih jauh tentang si dia bisa bertanya kepada famili terdekatnya. Ma’ruf[2] bukan? Siapapun bisa menjamin bahwa perkenalan yang semacam ini tidak akan berpengaruh pada dampak negativ.
Sudah seharusnya kita mewajibkan diri mempertahankan dakwah baginda Muhammad saw. Bukan malah mengenyampingkan ajaran mulia beliau saw. dengan mempraktikkan maksiat-maksiat. Semoga Allah menetapkan langkah kita sebagai hamba-Nya di jalan lurus-Nya. Amin.