Syarat-syarat Pemimpin yang Mampu Menciptakan Negara Impian

0
1026

Sejatinya, seorang khalifah adalah pengganti Nabi Muhammad yang harus mampu menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin agama yang cakap, sehingga cita-cita untuk bernegara akan tercapai, yaitu:

بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

“(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS. Saba`:15)[1]

Dalam menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mencalonkan dirinya sebagai khalifah, ulama dan para cendikiawan Muslim berbeda pendapat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh untuk menjadi khalifah[2];
  2. Memiliki sifat adil;
  3. Memiliki pengetahuan luas untuk berijtihad[3];
  4. Memiliki pendapat yang brilian;
  5. Memiliki keberanian untuk melindungi rakyat dan menghancurkan musuh;
  6. Integritas organ fisik (pengelihatan, pendengaran, dan lisan)[4];
  7. Berasal dari keturunan suku Quraisy[5].

Syarat ketujuh merupakan syarat yang diperselisihkan (mukhtalaf) oleh ulama dan para cendikiawan Muslim. Bagi mereka (Ahl al-Sunnah) yang mengharuskan calon khalifah berasal dari suku Quraisy, karena mereka berpegang pada al-Hadits Nabi Muhammad SAW:

الْأَئِمَّةُ مِنْقُرَيْشٍ

“Para Imam harus dari suku Quraisy[6]

Berdasarkan teori ‘ashabiyah[7], Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Dia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari Bani Mudhar.

Ashabiyah mengandung arti Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti.

Dengan jumlahnya yang banyak, solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya, suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi, maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran[8].

Namun menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih[9].

Dalam konteks sekarang, menurut Wahbah al-Zuhaili seorang pemimpin harus direkrut dari golongan mayoritas yang mempunyai pengaruh besar dalam sebuah komunitas sehingga dapat mempersatukan sebuah negara dan tidak membuatnya terpecah belah.[10]

Bahkan Abu Ya`la[11], seorang hakim dari madzhab Hanbali memberikan syarat yang terbilang ekstrim terkait dengan syarat seorang khalifah yang harus berasal dari suku Quraisy. dia mensyaratkan bahwa seorang khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy, khususnya mereka keturunan Nadlar bin Kinanah bin Huzaemah bin Mudzrikah bin Nasar bin Zaad bin Adnan[12].

Sedangkan menurut sebagian yang lain persyaratan tersebut dianggap tidak perlu dicantumkan karena menurut Ibn Taymiyah syarat tersebut sangat bertentangan dengan semangat egalitarian dalam Islam yang terkandung dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

 “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat: 13).[13]

Jadi menurut Ibn Taymiyah, sekalipun persyaratan diatas disandarkan kepada Hadits Nabi Muhammad SAW, hal itu sangat bertentangan sekali dengan nash al-Quran yang lebih rajih (unggul)[14].

Lebih lanjut, menurut Ibn Taymiyah doktrin itu hanya berlaku pada periode Khulafa al-Rasyidin saja[15], menurut dia, syarat seorang khalifah adalah mereka yang memiliki kualifikasi kekuatan (al-Quwwah) dan integritas (amanah). Hal ini berdasar pada ayat al-Quran:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. al-Qashas: 26).[16]

Pendapat Ibn Taymiyah diatas senada dan sealur dengan pendapat yang digulirkan oleh al-Jasshas ketika dia menafsiri ayat:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَاوَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

 “Sesungguhnya Allah te`lah mengangkat Thalut menjadi rajamu, mereka menjawab: bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan dari padanya, sedang dia tidak diberi kekayaan yang banyak?, Nabi mereka menjawab sesungguhnya Allah telah menganugerahkan ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa kepadanya, Allah memberikan pemerintahan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah: 247)[17]

Dia berpendapat bahwa yang berhak untuk menjadi seorang khalifah adalah mereka yang memiliki kualifikasi dibidang intelektul dan kekuatan.

Al-Jasshas juga mengklaim bahwa orang-orang yang mempunyai kelebihan harus didahulukan dari mereka yang mempunyai nasab dari golongan tertentu. Menurut dia, hal ini didasarkan kepada firman Allah untuk mendahulukan orang yang berilmu dan mempunyai kekuatan, meskipun orang yang mempunyai hubungan (nasab) tersebut lebih mulia.[18]

Menurut Prof. H. A. Djazuli, MA. Hadits diatas bersiafat siyasah (politik)  yang memang sangat besar maslahatnya pada saat itu[19] 

Golongan Mu`tazilah dan Khawarij-pun tidak setuju dengan syarat seorang khalifah yang harus berasal dari suku Quraisy, karena untuk menjadi khalifah adalah hak bagi semua orang Islam selama enam syarat (selain syarat ketujuh) diatas telah terpenuhi[20].

Menurut Abu al-A`la al-Maududi, seorang tokoh pembaharu India, menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin dengan syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Bertanggung jawab;
  2. Bertakwa dan beramal saleh;
  3. Berkemampuan intelektual dan fisik yang baik;
  4. Mampu memegang dan menjaga amanat.[21]

Dalam menetapkan syarat-syarat diatas al-Maududi ber-referensikan ayat-ayat al-Quran. Syarat nomor satu dia dasarkan pada surat Ali Imron ayat 118:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang di luar kalanganmu karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudlaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami, jika kamu memahaminya”  (QS. Ali Imron: 118)[22].

 Syarat nomor dua didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 124:

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: dan saya juga mohon dari keturunanku. Allah berfirman: janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang dzalim” (QS. al-Baqarah: 124)[23].

 Syarat nomor tiga didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 247:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَال َإِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab: Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?. Nabi mereka berkata: Sesunguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahkan ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah memberikan pemerintaha kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah: 247)[24].

Sedangkan syarat nomor empat didasarkan pada surat al-Nisa` ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak menerimanya, menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. al-Nisa`: 58)[25]



[1] al-Quran dan terjemahannya, DEPAG, CV. Penerbit Diponegoro, Bandung 2004. hal. 343

[2]  Menurut Dr. wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, yang dimaksud dengan ”Memiliki kekuatan dan kekuasaan” adalah mereka orang-orang Islam (muslim), merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal. Wahbah, Op. Cit., hal. 693

[3] Tujuannya adalah agar seorang pemimpin dapat mengambil sebuah keputusan hukum yang tepat ketika dia menemukan masalah-masalah atau peristiwa yang membutuhkan keputusan hukum seorang pemimpin

[4] Hal tersebut menjadi syarat dalam pemilihan seorang khalifah dikarenakan tidak lengkapnya salah satu organ fisik dapat mempengaruhi kemampuan seorang khalifah dalam bertindak ketika memimpin sebuah negara. Abd al-Rahman bin Khaldun, Op. Cit., hal. 193

[5]  al-Mawardi, Op. Cit., hal. 6. Abd al-Rahman bin Khaldun, Op. Cit. hal. 193. Wahbah, Op. Cit., hal. 697

[6]  Wahbah. Op. Cit., hal. 697 dan Musnad Ahmad bin Hanbal, Ibn Abdillah al-Syaybaniy, Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, Beirut, Lebanon, 1994, jilid 3, hal. 583-584 

[7]  http//id.wikipedia.org/wiki/teori_siklus_ibn_khaldun 

[8]  Abd al-Rahman bin Khaldun,Op. Cit., hal. 194-195

[9] Ibid.

[10] Wahbah. Op. Cit., hal. 698

[11]  Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad bin al-Farra` Abu Ya`la (380-458 H.). Abu Ya`la al-Hanbali, Op. Cit., hal. 14

[12]  Abu Ya`la al-Hanbali, Op. Cit., hal. 24

[13]  DEPAG, Op. Cit., hal. 412

[14] Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Dr. J. Suyuthi Pulungan, MA., PT. RajaGrafindo Persada, Jakarat, 1995, hal. 258

[15]  Abdul Azis (Ed.), Op. Cit., jilid 2, hal. 205

[16]  DEPAG, Op. Cit., hal. 310

[17] DEPAG, Op. Cit., hal. 32

[18] Imam Abu Bakar Ahmad al-Raziy al-Jasshas, Op. Cit., jilid 1, hal. 453

[19] Prof. H. A. Djazuli, MA., Op. Cit., hal. 111

[20] Wahbah, Op. Cit., hal. 697

[21] Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Muhammad al-Baqir (Penerjemah), Mizan, Bandung, 1998, hal. 69-72

[22] DEPAG, Op. Cit., hal. 51

[23] Ibid., hal 15

[24] Ibid., hal 32

[25] Ibid., hal. 69

Tinggalkan Balasan