Makanan khas ala timur tengah menjadi menu makan siang para peserta konfrensi saat baru tiba di Banyuwangi. Alhasil berbagai olahan daging kambing bisa dijumpai, termasuk kambing guling.
Tempat makan pun disetting sesuai dengan adat mereka saat makan bersama, yakni lesehan. Hanya pakaian para pramusaji saja yang tidak menyesuaikan dengan adat mereka, jubah. Ya mungkin mereka kerepotan kalau menyiapkan segala makanan sambil mengenakan jubah. Terlebih sekarang cuaca panas menyengat.
Jubah di kalangan masyarakat Indonesia hanya biasa dikenakan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan agama dan seringkali hanya dalam ibadah atau acara resmi. Beda dengan di kawasan Timur Tengah, yang biasa menggunakan jubah dalam kondisi apapun, bahkan saat kerja bangunan mereka sudah biasah menggunakan jubah. Maka dari itu, kalau dikembalikan pada konteks masyarakat Arab, Persoalan jubah ini memang sebenarnya hanya masalah tradisi, jadi tidak bisa dijadikan tanda bagi keislaman seseorang. Tidak perlu ada lagi kata āOrang yang pakai jubah lebih islam dari pada yang menggunakan celanaā.
Sebenarnya bukan hal ini yang akan dibahas penulis, hanya greget saja kalau sering melihat orang salah dalam persepsi dalam masalah ini. Selanjutnya penulis akan kembali pada persoalan utama.
Saat santap siang telah usai, para peserta ada yang memasuki kamar yang sudah disediakan, adapula yang langsung menuju mushalla. Syekh Wahbah Zuhaili termasuk yang memilih langsung menuju kamar. Banyak yang menemani Pengarang Fiqhul Islam wa Adillatuhu ini. Ketika memasuki kompleks kamar, di sisi kiri ada patung gandrung yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Az-Zuhaili melihat pada patung tersebut.
Kemudian secara spontan beliau mengatakan āIni adalah patung, kenapa ada di sini?ā. Orang-orang yang mengiringi beliau terdiam, seraya ingin mendengarkan lanjutan kata-kata yang akan terucap dari lisan beliau. āMalaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada patungā. āIni Haramā,lanjut beliau lalu masuk ke kamar yang telah disediakan.
Apa yang disampaikan beliau ini cukup penting untuk ditanggapi. Sebagai kabupaten yang berjulukan kota gandrung, Banyuwangi akan menampakkan hal itu. Dan patung menjadi salah satu tanda akan hal ini. Namun yang menjadi persoalan kalau dihubungkan dengan perspektif agama. Apakah agama mentolerir terhadap pembuatanĀ patung?. Kalau memang haram, apakah keharamannya itu lidzatihi atau karena ada persoalan lain sehingga bisa saja berubah menjadi halal.
Persoalan ini merupakan persoalan Fiqh, berarti termasuk persoalan yang akan selalu diperdebatkan. Karena memang ranah fiqh itu adalah ranah debatable. Pun demikian tidak pernah ada yang pasti benar. Kepastian hanya ada di sisi Allah nanti. Dengan begini, maka kita bisa saja sependapat dengan ulama yang sudah dipercaya tingkat keilmuannya ini. Dan tentu juga bisa untuk tidak sependapat. Yang penting kita tahu dengan alasan-alasan yang mendasari kita untuk memilih salah satu pendapat.