Perempuan Menjadi Obyek Model Perbudakan Modern

0
665

Nonton leg kedua antara timnas kebanggaan bangsa Indonesia melawan Malaysia. Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang timnas, melainkan tentang perempuan. Kalau anda nonton pertandingan melalui TV, maka di saat jeda beberapa detik, sorot kamera tertuju pada supporter yang ada di tribun. Dan ternyata yang sering menjadi sorotan adalah wanita, baik artis atau bukan, yang penting mungkin terasa ‘enak’ dipandang.

Saya tidak tahu secara pasti apa tujuan para kamerawan menyorot perempuan. Oh, “mungkin saja itu dianggap hiburan bagi para penonton”, begitulah dalam pikiran saya. Para laki-laki yang lagi menonton pun selalu berkomentar saat yang ditampilkan adalah wajah jelita seorang perempuan.

Dengan demikian, seakan-akan perempuan itu hendak “dijual” pada laki-laki yang menjadi mayoritas penggandrung sepakbola, yang sedang asik menontonnya. Tentu hal ini sangat tidak baik, karena selalu menjadikan wanita sebagai obyek. Padahal perempuan bukan barang dagangan.

Pernah di tengah-tengah perkuliahan, seorang dosen saya berkata, “Lihat itu!!,  para wanita yang bekerja sebagai sebagai pelayan sebuah toko. Coba perhatikan!!, mereka disuruh oleh bosnya untuk berpenampilan menarik, yang bisa membuat para kaum pria terpesona dan tertarik untuk mendatangi tokonya. Mereka menjadikan kaum wanita umpan agar usahanya maju. Sehingga tidak heran kalau hampir di semua pusat perbelanjaan melihat wanita yang cukup asyik untuk dipandang. Bahkan dengan pakaian you  can see. Kalau demikian, apa bedanya mereka dengan PSK yang menjual tubuhnya kepada pria hidung belang. Sedangkan mereka juga memamerkan tubuhnya hanya untuk menarik pelanggan, kan sama-sama menjual tubuh?”.

Perkaataan tersebut ada benarnya juga. Mengingat, kita bisa dengan mudah melihat toko-toko dengan pelayan yang berparas lumayan cantik dan berpenampilan menarik. Bahkan para SPG (Sales Promotion Girl) bisa dipastikan merupakan wanita yang berparas elok. Sebab para produsen berpikir dengan SPG yang cantik, bisa lebih menarik para konsumen untuk membeli produknya.

Hanya demi menarik para konsumen ini pun, para produsen kadang benar-benar mengeksploitasi tubuh wanita. Misalnya kita bisa melihat ada tempat cuci mobil yang pekerjanya terdiri dari kaum wanita. Saat bekerja, mereka menggunakan pakaian yang cukup ‘menantang. Dengan demikian, apa salah kalau mengatakan bahwa para pekerja yang mengandalkan penampilannya yang menarik itu sebagai orang yang ‘menjual’ tubuh, layaknya para PSK?. Dan Pertanyaan seperti ini sungguh sangat menyakitkan bagi kaum wanita manapun, selama pikiran sehat masih menguasai.

Saya pertegas lagi bahwa zaman perbudakan sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi penindasan bagi perempuan. Sekarang bukan lagi zaman Persia atau Romawi. Jadi tidak ada lagi istilah memperjualbelikan perempuan, apapun bentuknya, termasuk seperti penjelasan di atas. Pandangan perbudakan modern, terutama yang berkaitan dengan wanita harus dihapus. Caranya, kaum wanita harus melawan dan pertegas jati diri sebagai makhluk yang tidak bisa diperjualbelikan, apalagi hanya sebagai pemuas.

Tanpa ada sikap tegas dari wanita sendiri, maka sangat sulit untuk menghapus cara pandang yang sudah mengkristal itu. Yang sering terjadi, untuk memperjuangkan kehidupannya, mereka sering hanya ada di balik kaum laki-laki. Sehingga seakan-akan tidak punya keinginan kuat, hanya mengikuti arus gerakan kesetaraan gender. Ini tentu tidak akan memberikan efek yang banyak bagi kebaikannya.

Sedangkan apabila perjuangan itu muncul dari dirinya sendiri, misalnya tidak menerima segala tawaran yang bisa merusak harkat dan martabatnya, dapat dipastikan wanita akan betul-betul keluar dari anggapan negative kaum pria. Dia tidak akan lagi dianggap sebagai orang menjual diri, karena memang tidak layak diperjualbelikan.

 

Tinggalkan Balasan