Hidup di pesantren haruslah melihat inti peribahan yang harus dicapai. Antara lain yang harus diutamakan adakan pendidikan akhlak yang selama ini hampir hangus termakan zaman global. Pendidikan adalah salah-satu jawabannya yang harus diarahkan pada pembentukan sikap (budi pekerti). Akankah kita tidak mengenal nilai seseorang adalah budi pekertinya, ”qimatu al-mar’i akhlaquhu“.
Teori pendidikan menyatakan bahwa sistem pendidikan harus mempertimbangkan tiga faktor, yaitu afektif, psikomotorik dan kognitif. Katiganya harus berjalan secara bersamaan dan selaras, mengingat apabila hanya menekankan pada salah satu faktornya saja, akan berakibat pada kepincangan pendidikan itu sendiri. Kerusakan moral yang terjadi saat ini disinyalir akibat dari sistem pendidikan yang kurang memperhatikan ketiga faktor tersebut.
Kondisi yang semestinya mempertimbangkan untuk memandang pendidikan secara utuh, tidak saja pengembangan keilmuan, melainkan juga perkembangan kepribadian dan akhlak.
Pesantren atau Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang pernah ada dan merupakan media pengembangan agama Islam yang paling utama di negeri ini, hingga kini bahkan pesantren menjadi alternatif bagi menempuh pendidikan berbasis agama Islam.
Dalam sebuah lileratur disebutkan istilah pesantren secara etimologis berasal dari kata pe-santri-an tempatnya para santri, ada juga yang menyebutkan asal katanya sant (manusia baik) dengan tran (suka menolong), sehingga pesantren dapat diartikan sebagai tempat pendidikan manusia untuk mendapatkan kebaikan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain dengan semangat gotong royong.
Sedangkan istilah pondok, terdapat analisa yang menyatakan berasal dari kata funduq (tempat menginap atau pesanggrahan bagi orang yang sedang bepergian atau mengembara).
Di lingkungan pesantren, kedudukan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan utama bagi kehidupan. Terdapat pandangan bahwa segala amal perbuatan, baik yang berkaitan dengan persoalan hati maupun badan, ucapan atau perbuatan tidak dianggap sah apabila tanpa kebaikan akhlak.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa akhlak berkaitan erat dengan tauhid. Tauhid adalah dasar dari segala sesuatu, maka lahirlah apa yang dinamakan keimanan, dari keimanan timbul syariat, dari syariat muncullah akhlak. Artinya, jika seseorang tidak memiliki akhlak, berarti tidak memiliki syariat, jika tidak memiliki syariat berarti tidak memiliki keimanan dan itu juga berarti tidak memiliki tauhid. (Tamyiz Burhanudin, 2001).
Keutamaan akhlak di lingkungan pesantren ditunjukkan oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari tokoh pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dengan karyanya berupa Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim (sopan santun atau akhlak antara pendidik (ustad) dan yang dididik (santri)), yang disusun pada tahun 1343 H / 1923 M.
Bagi para santri ketika menuntut ilmu di pesantren, sudah sejak awal diberikan pemahaman betapa pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah kehidupan, sesuai dengan firman Allah SWT : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi pengetahuan” (QS. Al-Mujadalah, 11).
Selanjutnya Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim juga memaparkan tentang keagungan ilmu dan ulama, mengingat sosok ulama dipandang sebagai pewaris para Nabi, sebagaimana firman Allah SWT : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk” (QS. Al-Bayyinah:7). Begitu juga tentang ulama disenyalir, “Sungguh yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah ulama” (QS. Al-Fatir, 28).
Secara garis besar pola pendidikan di lingkungan pesantren sangat menitik beratkan pada pendidikan akhlak seorang santri atau murid, akhlak ustadz atau ulama guru, akhlak hubungan santri dengan ustadz dan sebaliknya, akhlak santri terhadap pelajaran, akhlak santri terhadap kitab yang dipelajari serta akhlak-akhlak lainnya yang berkaitan erat dengan pandangan hidup seorang muslim.
Pendidikan menurut Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim bukanlah transfer pengetahun, melainkan ia harus mampu membentuk akhlak yang sempurna. Pendidikan yang hanya menekankan aspek pemikiran dan melupakan aspek ilahiyah dianggap sebagai pendidikan yang tidak bisa melanjutkan idealitas pendidikan. Terdapat tiga hal yang ingin dicapai, yakni dimensi keilmuan, pengamalan dan religius. (Tamyiz Burhanudin, 2001).
Pesantren yang selama ini dianggap mempergunakan pola-pola tradisional, walaupun saat ini banyak pesantren yang telah melakukan perubahan mengikuti perkembangan yang terjadi, dapat menjadikan alternatif bagi upaya ke arah perbaikan dan pendidikan akhlak selanjutnya. Karena dengan akhlak yang baik merupakan modal dasar bagi pembentukan karakter manusia terlebih santri yang berada di lingkungan pesantren.
Seorang bijak mengatakan: “When wealth is lost, nothing is lost. When health is lost, something is lost. When character is lost, everything is lost.” (Bila harta kekayaan yang hilang, belum berarti kehilangan sesuatu. Bila kesehatan yang hilang, barulah ada sesuatunya yang hilang. Bila karakter yang hilang, berarti hilanglah segalanya).(Redaktur AR).