[Cerpen] Namanya Muhammad

0
1192

“Ayolah, Puut! Kasih tahu aku!” Namira tak berhenti merengek sambil membantuku membereskan kertas di sana sini. Aku cuma tertawa kecil. Lucu melihat mukanya yang gemas.

“Puut! Ayo, kasih tahu… Kan aku sering cerita ke kamu, masa’ kamu nggak pernah cerita sih, Put? Ayo, Puut… Janji, deh, aku nggak bakal bilang siapa-siapa.”Aku makin terkikik. Aku tetap saja merapikan buku-buku tebal yang kami jadikan referensi untuk LKTI, membereskan berkas-berkas dari meja tulis, dan mengarsipnya dalam sebuah map agar terlihat rapi. Dia? Terus mengikuti tanpa berhenti memohon.

Dia sudah mengulang kalimat itu jutaan kali sejak aku memberitahunya bahwa aku sedang jatuh cinta pada seseorang. Aku memberitahunya kemarin sore, lewat SMS, dan dia langsung menyerbuku dengan berbagai pertanyaan tentang orang yang katanya berhasil merebut hatiku itu. Di mana aku pertama kali bertemu, seperti apa fisiknya, sudah kuliah atau masih SMA, sekolah dimana, fakultas apa, dan yang paling penting, apa yang dia lakukan sampai dia dengan hebatnya mampu merampas seluruh perhatianku dalam sekejap. Padahal, banyak orang tahu, aku bukan tipe orang yang gampang suka. Sekeren apapun, secakep apapun, tetap saja. Untuk membuatku memberikan perhatian lebih, itu perlu waktu.

“Bisa juga, ya, kamu naksir sama cowok, Put,” Itu komentar pertama yang dikirim Namira untuk membalas SMSku yang kata dia sangat mengejutkan. Terang saja aku protes. Langsung kubilang bahwa aku ini orang normal.

“Ya kan biasanya kamu cuek sama mereka, Put. Kamu terlalu fokus belajar. Kejar peringkat, lomba ini, lomba itu. Nggak peduli yang lainnya. Padahal waktu lomba bisa saja kamu cari cowok di sana. Kalau cowok yang suka ikut lomba-lomba biasanya baik, Put. Nggak usah khawatir” Aku makin tidak habis pikir dengan teman seperjuanganku yang minggu lalu merengek memaksaku ikut LKTI itu. Aku jadi berpikir, jangan-jangan LKTI ini diperjuangkan juga karena ada modus tentang makhluk yang katanya dilahirkan sebagai pemimpin itu. Ya, anak cowok. Bagi remaja SMA seperti kami ini, topik tentang cinta selalu menyandang gelar sebagai “Yang Paling Digemari”. Gerombolan cewek sibuk membahas cowok keren di lapangan basket, raja lapangan sepakbola, ketua geng motor, anak pak kepsek, pemenang Olimpiade Kimia, sampai ikhwan-ikhwan masjid yang wajahnya selalu teduh dan segar karena air wudhu. Di kubu cowok sepertinya juga sama. Entahlah. Tidak usah heran. Bahkan, di akhir zaman ini, anak TK pun tahu apa itu pacaran dan kalimat “I Love You” yang selalu menyertainya. Astaghfirullah…

Aku segera membuang pikiran burukku terhadap Namira jauh-jauh sebelum aku mengetik balasan. Kubilang bahwa kami ini sedang mencari ilmu karena Allah. Jadi, untuk apa kami belajar, dan mengikuti berbagai lomba itu diniatkan saja untuk mencari ilmu karena Allah. Masalah cowok itu nanti. Kan jodoh sudah diatur.

“Jadi kamu move on, nih?” itu jawaban Namira selanjutnya. Senyumku terlukis. Sadar. Iya, berarti aku memang move on.Aku baru ingat –dan aku yakin Namira juga ingat- tentang anak laki-laki cerdas dan cuek yang sempat menyita perhatianku.Awalnya biasa saja.Tapi, aku ini korban olok-olok. Ingin rasanya aku memarahi teman-teman SDku yang dengan jahilnya mengolok-olok sampai aku merasa sedikit “aneh” pada anak itu. Ternyata Bu Guru benar. Inilah bahanyanya olok-olok. Suatu candaan biasa yang punya kekuatan luar biasa untuk mengubah isi hatimu.

Ya, dunia memang sudah rusak.Namira baru mengenalku saat SMP dan dia selalu penasaran dengan anak laki-laki yang kubilang berandalan itu. Nyatanya dia dulu memang nakal. Sesekali dihukum, bukan tipe anak yang sangat penurut, atau tipe yang terlihat bahwa ia punya ilmu agama yang sangat dalam. Tidak.Biasa saja. Hanya, ketajaman otaknya membuatku selaluwaspada karena dia mulai mengejarku di ranking atas.

Tapi, bertahun-tahun terakhir ini, dia jarang sekali mengisi ruang dalam otakku walau hanya sekedar ingatan kecil yang dipelihara oleh beberapa serabut syaraf. Posisinya kembali tergeser oleh berbagai tugas, mimpi, dan pelajaran, sama seperti sebelum dia berhasil membuat beberapa syarafku mengingatnya. Aku tidak pernah berkomunikasi dengannya ataupun dengan anak laki-laki yang lain sejak wisuda SD selain membahas acara reuni seperlunya.Hanya dengan teman perempuan.Tapi, melihat aku tidak pernah menceritakan anak cowok lain, membuat Namira men-judge bahwa aku masih tetap condong padanya.Setia.

Nyatanya?Entahlah.Aku memilih tidak usah berkomentar.

Pesan-pesan Namira selanjutnya sempurna bertujuan untuk menggodaku.Aku cuma membalas dengan “Haha..” dan emot tertawa [ 😀 ]. Lama-kelamaan, SMSnya dipenuhi permohonan. Permohonan apa? Tentu saja memintaku menceritakan “Pangeran Hati”ku itu.

Bukannya mengabulkan permohonan, aku malah memperkokoh pendirian untuk tidak memberitahunya. Entah kenapa aku ingin menjahilinya. Akhirnya aku sama sekali tidak membocorkan apapun, membiarkannya terus memohon. Kukira dia begitu terkejut dengan fakta bahwa aku suka seorang cowoklain, selain kawan SDku itu. Dan ternyata benar.Sampai hari ini, ketika kami janjian di rumahku untuk melanjutkan penyusunan naskah LKTI, Namira tetap tidak menyerah untuk mencari tahu. Bahkan dia menjelajah inbox dan kontak ponselku, mengubek-ubek facebook dan mengatakan betapa jahatnya aku tetap tidak memberitahunya sampai dia melakukan semua ini.

Aku tertawa.Siapa yang menyuruhnya begitu?Aku tidak.

Tapi kemudian aku merasa bersalah, dan memutuskan untuk mengakhiri kejahilanku terhadapnya. Eh, tapi bukan berarti SMSku kemarin bohong, lho! Sungguh.Itu benar.Hanya, mengulur waktu untuk bercerita memang sedikit membuat Namira menderita.

“Ayo, Puut!” Kan, itu lagi.

“Iya, iya,” aku menghampiri hasil angket yang menumpuk di meja, merapikan.“Kuberitahu siapa namanya.”

“O, akhirnya! Siapa namanya?”Namira mengikutiku ke rak buku, mencari map yang masih kosong.

Aku memasukkan hasil angket itu, lalu menyimpannya di rak bersama dokumen lain. “Namanya Muhammad,” kataku enteng, tanpa malu-malu. Bahkan, kalau kalian percaya, ada rasa senang yang melimpah ketika aku mengucapkan itu.

Namira sontak terdiam.Menyadari bahwa nama itu dimiliki oleh orang banyak. Lalu, Muhammad yang mana yang membuatku berpaling seperti ini?

“Muhammad yang mana, Put? Muhammad Reza? Muhammad Badiul Azmi? Siapa, sih, Put?” Namira tidak puas dengan hanya sekedar tahu bahwa namanya Muhammad. Dia terus menyerbuku dengan senyum mengembang sambil menyebutkan semua nama Muhammad yang dia tahu. Bahkan, beberapa aku tidak kenal.Aku tetap tidak berhenti membereskan ruang menulisku yang berantakan karena kajian pustaka yang kulakukan semalam.

“Putri… Yang mana?”Namira masih mengejar.Aku jadi bingung.Apa gunanya sih dia sampai memaksa begini? Tidak ada pengaruhnya juga, kan, untuk dia aku suka pada siapa? Kecuali, kalau saat ini dia sedang menyukai seseorang bernama Muhammad dan dia takut aku menyukai orang yang sama.

Tapi tenang saja. Kukira tidak akan sama.

“Atau jangan-jangan… Roberto Ali Muhammad?”Namira menebak dengan putus asa. Spontan aku menoleh, kaget. Kepikiran juga dia tentang muallaf bule yang sekarang tinggal di blok perumahan yang sama dengan kami. Haha… Anak Jerman itu memang sempat membuatku kagum atas penuturannya tentang alasan dia berislam. Tapi, Muhammadku ini lebih hebat. Dia mampu menumbuhkan rasa kagum yang berjuta kali lipat lebih besar daripada rasa kagumku pada Roberto ataupun pada teman masa kecilku itu.

“Bukan…” Aku menggeleng pelan, merebahkan diriku di sofa.Beres-beres selesai.

“Terus yang mana, Put?” Namira ikut duduk, menanti.

“Coba tebak. Tebaknya satu aja langsung,” kataku. Apa Muhammadku ini sama sekali tidak terlintas dalam pikirannya?

Namira diam, berpikir. Mungkin, mengevaluasi kalau-kalau dalam otaknya ada Muhammad yang belum dia sebutkan. Aku meminum jus sirsak yang dibelikan Namira sebelum dia datang ke rumahku pagi ini. Namira masih berpikir.Aku tersenyum, menunggu.

Dan… sedetik, dua detik, tiga detik… Namira menggeleng pasrah.

***

Muhammadku itu, dia orang yang jujur dan cerdas. Kupikir, tentunya ketajaman otak teman masa kecilku itu tentulah bukan apa-apa dibanding Muhammad. Kata orang sekitarnya, Muhammadku itu ramah dan pandai bergaul. Dia bisa bergaul dengan siapapun. Mulai bayi sampai orang tua, itu hal kecil saja baginya untuk bisa membuat mereka semua nyaman dengannya. Dia selalu menepati janji, selalu memenuhi undangan, tak peduli diundang oleh siapa. Kalau sedang datang ke perkumpulan orang, dia duduk dimanapun ada tempat kosong, tanpa melihat itu kawan karibnya atau bukan. Setelah itu, berguraulah dia dengan sangat akrab.

Muhammadku itu, katanya suka makanan enak. Tapi, sehari-harinya dia selalu makan seadanya. Dia lebih suka menahan diri dan memakan makanan enak kesukaannya itu sesekali saja.Bahkan, yang menjadi nilai plus, dia suka berpuasa.

Muhammadku itu, pakaiannya juga biasa. Dia jarang melirik pakaian mewah dan mahal, walau nyatanya dia memang bukan orang kalangan bawah.Kalau dia mau, tentunya dia bisa membeli banyak baju mahal. Tapi, dia lebih suka memakai uangnya untuk infaq daripada membeli baju.Pernah ada orang yang memberinya baju bagus, tapi tiba-tiba temannya datang. Temannya itu menginginkan baju baru milik Muhammad. Dan yang dilakukan Muhammad selanjutnya, dia memberikannya tanpa pikir panjang.

Baginya, makanan enak dan baju mahal itu bukan hal penting.

Muhammadku itu, dia suka melakukan semua pekerjaannya sendiri. Mandiri, optimis, pekerja keras, dan tipe orang yang susah putus asa. Orang bilang, dia orang yang sangat menjaga pergaulan. Muhammad suka tersenyum, bicaranya sopan, bahkan hebatnya ia bisa memaafkan sebelum orang itu meminta maaf padanya. Intinya, dia orang yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan.

Tapi kalian tahu? Dibalik perangainya yang ramah dan bersahabat itu, ternyata Muhammadku ini sangat teguh pendirian, dan dia bangga dengan pendiriannya.Kalau dia yakin tentang sesuatu, tidak ada seorangpun yang bisa menggoyahkan keyakinannya.

Muhammadku itu pintar menempatkan diri. Dia ramah dan penyayang, tapi dia juga bisa tegas kalau diperlukan. Dia sangat toleran dan bersahabat, tapi tidak mengizinkan sesuatu yang tidak sejalan dengan agama. Dia pandai mengambil keputusan, tapi tetap tidak menolak pendapat orang lain untuk dirundingkan ulang. Jiwa sosialnya bagus sekali, kan? Dan lagi, siapapun akan merasa tenang dan yakin menang asalkan ada dia dalam kelompoknya.

Hmp… Orang yang punya pengaruh besar.

Namira mendengarkanku mengoceh panjang lebar tentang Muhammadku itu. Reaksinya?Hanya geleng-geleng.Kutebak, dia pasti bingung bagaimana mengkonversi deskripsiku ke dalam otaknya sebagai bayangan sesosok manusia. Apalagi aku tidak bilang bagaimana rambutnya, kulitnya, tingginya, hidungnya, atau apapun. Aku hanya bilang, tubuhnya sehat dan jarang sakit.

“Nggak habis pikir aku, Put,” ujar Namira. “dimana kamu nemu cowok begitu? Keren, lho!”

Ha, aku tersenyum bangga penuh kemenangan mendengar komentar teman karibku itu.Dia tetap mengira kalau Muhammad ini kenalan baruku ternyata. Duh, Namira…

“Kamu sungguhan suka, Put?” selidiknya, mungkin heran dengan sikapku yang berbunga-bunga.

“Bagaimana kalau cinta?” balasku.Langsung saja, Namira kembali menggodaku.

“Eh, Put,” Namira berujar lagi. “tapi kamu bukan suka sama…” Namira membisikkan sebuah namadi telingaku. Kali ini, kontan aku balas dendam.

“Hayoo..Kamu pasti suka dia!”

“Apa sih?!” Namira menimpukku dengan bantal.“Enggak! Aku tanya soalnya nama panjangnya ada Muhammad-nya!”

Aku tertawa, sukses melancarkan pembalasan.

“Haha… Bukan, kok!” aku melindungi diri.Iseng menimpuknya.“Aku suka sama namanya Muhammad, Mir.. Namanya cuma Muhammad…”

“Atau… Seseorang yang mirip Muhammad,” tambahku, dan Namira semakin bingung.

“Mirip?”

Aku mengangguk.“Iya.Aku sedang mencari yang mirip Muhammad.Hanya untuk Allah, Muhammad, dan orang yang mirip dengannya.”

Mulut Namira membulat.Fahamlah dia sekarang. Jelas sudah baginya bahwa sejak tadi aku membicarakan Rasulullah dan sama sekali tak ada kenalan baru atau apa. Sekali lagi, dia menimpukku dengan bantal.

***

Semua ini bermula ketika aku mencari referensi untuk pengerjaan LKTI minggu lalu. Suntuk melihat deretan buku tebal yang kertasnya mulai menguning, aku berpindah ke perpustakaan anak-anak. Melihat berbagai warna dan gambar sukses membuat pikiranku cerah. Aku segera menyapa penjaga dan bergurau dengan anak-anak.

Buku yang kuambil selanjutnya, dialah sumber semua ini.

Aku melihat buku anak-anak tentang siroh nabawi yang terdiri dari banyak jilid.Dan ketika aku membaca jilid pertama, jelaslah bagiku darimana keturunan Muhammad dimulai. Akhirnya, hari-hari berikutnya, aku tak akan pulang sebelum menamatkan satu jilid bersama anak-anak.

Dan buku itu, membuka semua kegagahan dan keistimewaan Muhammad.

Kita sudah mengenalnya sejak lama. Bahkan, aku yakin banyak diantara kita yang sudah mengikuti kisahnya dari lahir hingga wafat dalam pelajaran agama di sekolah. Tapi berbagai urusan lain membuat kebanyakan kita menganggap kisahnya tak lagi perlu mandapat perhatian. Padahal, belum tentu kita mengetahui hal-hal kecil luar biasa yang terjadi sepanjang hidupnya.

Yang ingin kuberitahu pada Namira, juga pada kalian, bahwa memang dialah yang paling hebat. Orang yang seharusnya dicintai karena dia selalu mencintai kita. Tidak perlu khawatir karena tidak ada yang salah tentang dia. Dan kunci untuk hidup bahagia hanya satu.Yaitu mengikutinya.

Aku baru selesai membaca jilid enam ketika aku mengirim SMS pada Namira dan membuatnya heboh. Aku segera mengembalikan buku itu ke dalam rak dan berniat datang lagi hari berikutnya, seperti biasa.Aku berharap, semua orang, apalagi yang menyandang nama Muhammad itu akan menjadi sebaik dia.

Kemudian aku pulang, sambil menyadari sesuatu.

Tidak ada lagi hubungan antara kata suka apalagi cinta, dengan teman masa kecilku itu. Kalau orang menanyaiku tentang suka, aku akan bilang aku suka orang baik. Kalau orang menanyaiku tentang cinta, aku akan bilang, aku cinta orang yang mirip dengan Muhammad. Orang yang selalu berusaha mengikuti dan meneladani apapun sikap Muhammad. Aku akan bilang, aku cinta pada orang yang mencintai Allah dan Muhammad.

Oleh: Putri Retno Pambayun, Siswi SMA Al-Izzah International Islamic Boarding School  Batu 

Tinggalkan Balasan