Nilai Sosial dalam Shalat Jama’ah

0
1428

Shalat jama’ah merupakan salah satu aktifitas spiritual dalam Islam. Shalat jama’ah memiliki status hukum yang masih terjadi perselisihan, ada yang mengatakan sunnah ‘ain, sunnah kifayah, fardu ‘ainm dan fardu kifayah. Sehingga, ketika shalat tersebut hukumnya ditentukan oleh suatu komunitas menjadi fardu ‘ain, masih ada yang membangkang karena berasalan, hokum shalat jama’ah belum jelas. Bagi mereka yang tidak melaksanakan solat jama’ah, sebenarnya tidak hanya itu alasannya, mungkin ada alasan lain yang membuat mereka tidak semangat melaksanakannya.

Untuk memantapkan pemahaman kita tentang shalat jama’ah yang kemudian membuat kita semangat untuk melaksanakannya, berikut wawancara kami yang inysaallah akan menjadi pendoron semangat untuk melaksanakan shlata jama’ah. Wawancara ini dilakukan bersama salah seorang pakar hukum Islam, KH. Afifuddin Muhajir, M.Ag. yang berasal dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo.  Beliau salah satu dosen senior di Ma’had Ay dan sebagai salah satu Katib Syuriah PBNU, yang sering mengisi berbagai acara dan forum di tingkat Nasional bahkan internasional. Beliau juga dikenal dengan pemikirannya yang mampu memutuskan hukum yang relevan dengan situasi dan kondisi.  (shalih fi amkinah wa azminah).

1. Hukum shalat jama’ah cukup beraneka ragam, ada yang sunnah ‘ain, sunnah kifayah, fardlu ‘ain, dan fardlu kifayah. Apa saja yang melatar belakangi perbedaan hukum tersebut ?

Perbedaan itu merupakan Salah satu karakter dalam Fiqh. Termasuk juga dalam hukum shalat jama’ah. Ada dua hal yang melatar belakangi perbedaan hukum tersebut:

  1. Perbedaan dalam menggunakan dalil
  2. Perbedaan Fuqaha’ dalam memahami dalil

Tetapi Saya sendiri memiliki kecenderungan bahwa hukum shalat jama’ah itu fardhu kifayah. Itu tengah-tengah.

2. Ada sebuah komunitas, katakanlah seperti pesantren, memberlakukan shalat jamaah secara wajib ‘ain. Yang menjadi masalah bagi kami tentang sanksinya, yaitu bagi yang tidak melakukan shalat jama’ah disanksi berupa dijemur, dikenai skor, bahkan jika dianngap keterlaluan sanksingnya dikeluarkan dari komunitas itu (pesantren). Siapa sesungguhnya yang berhak menentukan sanksi itu, Allah atau manusia? Dan bagaimana dengan sanksi tersebut?

Ini hubungannya antara hukum positif dan hukum syari’at. Hukum syari’at adalah hukum yang diambil daril al-Qur’an dan Hadits. Hukum positif, hokum yang dibuat oleh manusia, baik yang bersifat internasional, regional atau lokal. Aturan-aturan pesantren ini termasuk hukum positif.

Hukum positif kaitannya dengan hukum syari’at itu ada beberapa macam:

  1. Hukum positif yang wajib dita’ati
  2. Hukum positif yang haram dita’ati
  3. Hukum positif yang boleh dita’ati dan boleh tidak dita’ati

Sebagaimana dalam kitab dikatakan:

وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوبُهُ ، وَإِنْ أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ وَجَبَ ، وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ فَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ ، بِخِلَافِ مَا إذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ عَامَّةً

Kesimpulan dari perkataan tersebut bahwa ketika pemerintah memerintah untuk melakukan sebuah kewajiban maka kewajiban itu makin kuat. Jika memerintah untuk melakukan sesuatu yang sunnah maka kesunnahan itu menjadi wajib. Dan jika menyuruh untuk melakukan sesuatu yang mubah menurut islam akan tetapi hal itu bisa mewujudkan kemaslahatan umum maka yang mubah tersebut menjadi wajib.

Jadi pesantren ini sama dengan Negara. Contoh pencatatan nikah. Pencatatan nikah dalam syariat tidak diwajibkan, akan tetapi Negara mewajibkan apakah wajib ditaati? Dilihat dulu, kalau pencatatan nikah itu mengandung maslahah maka wajib mentaati. Dengan demikian, jika pesantren mewajibkan shalat jamaah yang semula disunnahkan maka jadi wajib.

Tentang sanksinya, itu yang menjadi persoalan.

 3. Shalat jamaah sebagai spritual keagamaan pasti  memiliki nilai ukhrawi, namun  adakah nilai duniawi yang nampak nyata (dalam kehidupan manusia), baik dari sisi individual ataupun sosial ?

Shalat jama’ah tidak menjanjikan kepentingan dunia, akan tetapi secara tidak langsung bisa saja dengan berkahnya shalat jama’ah akan memperoleh kepentingan-kepentingan dunia. Dengan shalat jama’ah masyarakat bisa saling bertemu di masjid atau di mushalla. Dengan pertemuan di masjid atau di mushalla mereka punya kenal-kenalan dan kalau orang punya kenal-kenalan itu persoalan-persoalan yang sulit menjadi mudah, termasuk urusan-urusan dunia. Dengan berkahnya sering ketemu dengan orang di masjid atau di mushalla maka di punya relasi-relasi, itu kan kepentingan dunia yang tak langsung.

4. Walapun shalat jamaah mendapatkan derajat 27, namun hal itu tidak menggiurkan masyarakat untuk melaksanakan shalat jamaah. Sehingga, masjid-masjid yang cukup mewah hanya menjadi tontonan bagi orang-orang yang berlalu-lanag di sekitarnya. Bagaimana cara kita mengajak mereka untuk melaksanakan shalat jamaah?

 

Mungkin lebih penting dari pada shalat jama’ah adalah shalat itu sendiri, bagaimana cara kita menyadarkan masyarakat muslim agar mereka melaksnakan kewajiban-kewajiban agamanya, terutama kewajiban shalat. Barang kali kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak orang-orang Islam yang tidak melaksanakan lima waktu. Jangankan jama’ah, shalat sendirianpun tidak. Itu yang paling penting.

Yang kedua shalat jama’ah. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa kaum muslimin hanya mampu membangun fisik; membangun masjid dan gedung-gedung, tetapi tidak mampu membangun manusia. Banyak masjid-masjid yang mentereng tapi kosong atau ada jama’ahnya tetapi jama’ahnya tidak berkualitas, imamnya tak karuan dan seterusnya. Jadi kesimpulannya, kita hanya mampu membangun gedung.

Sumber gambar: aminbenahmed.blogspot.com

Tinggalkan Balasan