Marhaban ya ramadhan ……..! selamat datang wabai bulan nan agung. Begitulah yang didengungkan oleh manusia sebagai kata sambutan terhadap kedatangan Ramadhan, bulan yang mereka anggapp suci, bulan bertabur rahmat serta ampunan dari Allah. Meski demikian, tidak semua orang punya `gairah` dan penilaian yang sama terhadap bulan ini.
Dalam realita kehidupan masyarakat, begitu banyak kita jumpai orang yang sangat antusias menyongsong Ramadhan. Mereka saling berlomba meningkatkan kualitas ibadah kepada Tuhan, berkompetisi mengisi bulan suci ini dengan amalan-amalan sunnah yang konon pahalanya begitu berlipat. Banyak cara mereka tempuh dengan satu tujuan yag nasama yaitu ridla dari sang Khaliq.
Akan tetapi, terkadang antusiasme mereka harus terhalang oleh beberapa kendala yang sifatnya manusiawi. Sehingga dengan kendala (udzur) tersebut mereka tidak memenuhi kewajiban berpuasa yang telah lama dinanti, baik udzur tersebut sifatnya pribadi seperti sakit maupun udzur sebagai konsekensi sebuah profesi seperti seorang sopir, yang bertanggung jawab mengantar penumpang setiap hari.
Ada juga fenomena yang ironis. Sebagian umat islam ada yang tidak melaksanakan puasa bukan karena tertimpa udzur, akan tetapi hal tersebut mereka lakukan dengan sengaja. Masyaallah, apabila hal ini tidak segera ditanggulangi maka akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi yang bersangkutan maupun umat islam secara umum.
Karena itulah, TA merasa terpanggil untuk urun rembuk menjawab beberapa persoalan dari febomena tersebut. Yakni, bagaimana sebenarnya hukum dan konsekuensi bagi orang yang memutus puasa dengan sengaja tanpa udzur? Bagaimana pula juga berhenti puasa tersebut karena udzur? Lantas, udzur apa saja yang membolehkan berhenti puasa? Serta, bagaimana pula hukum berhenti puasa bagi pekerja berat seperti sopir/pengemudi?
Menanggapai masalah yang pertama, para ulama` sepakat bahwa memutus puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari`at hukumnya adalah haram. Dan bagi siapa saja yang melihat orang tersebut wajib menegur dan mengingatkannya sesuai batas kemampuan. Sedangkan bagi pemerintah (presiden dan seluruh aparat terkait) wajib menta`zir (menghukum) dan memberi pelajaran pada orang tesebut supaya jera.
Selanjutnya, yang menjadi ajang perdebatan diantara ulama` adalah konsekuensi dari memutus puasa tersebut. Sedangkan mereka hanya mewajibkan qadha` (ganti) saja. Pendapat ini dimotori oleh Syafi`iyah dan Ahmad bin Hambal serta Ahlu al-Dhahiri. Sementara kelompok lain berpendapat berbeda. Menurut kelompok madzhab ini, bagi seorang muslim yang sengaja memutus puasa tanpa alsan yag dilegalkan oleh syara` tidak cukup hanya menganti (qadha`) saja. Akan tetapi, dia juga wajib memberi kaffarat (sanksi) sebagaimana sanksinya orang yang berjima` di siang hari bulan Ramadhan.
Kaffarat yang wajib mereka lakukan adalah puasa dua bulan berturut-turut. Jika mereka tidak mampu, maka wajib memerdekakan budak. Jika tetap tidak mampu, mereka berkewajiban memberi makanan 60 orang fakir miskin, dengan ketentuan setiap fakir miskin mendapat santunan satu mud atau 6 ons makanan pokok.
Dengan demikian, mereka wajib membayar sanksi sebesar 36 kg setiap satu hari yang ditinggalkan (60 fakir miskin x 6 ons = 360 ons/36 kg). Pendapat ini diusung oleh Imam Abu Hanifah, al-zuhri, al-Auza`iy, al-Tsaury, Ishaq dan Mazdhab imam Malik. (fikh al-Siyam, 98 ; bidayah al-mujtahid, I, 278).
Apabila memutus puasa disertai pembangkangan, maka manurut Sa`id bin Musayyab mereka wajib mengantinya sebanyak tiga puluh hari. Sedangkan menurut Imam al-Nakha`i, Ibnu Mundzir dan Ashabina, orang tesebut harus mengganti sebanyak 3000 hari (8,2 tahun). Bahkan, menurut pendapat Sayyidina Ali ra. dan Ibnu Mas`ud ra. Sekalipun orang tersebut menggantinya dengan puasa seumur hidup tetap tidak cukup membayar pembangkangannya yang ia lakukan. (al-majmu` sayrh al-muhaddzab, VI, 340).
Untuk measalah kedua, para ulama` sepakat memperbolehkan tidak berpuasa bagi seseorang yang udzur (berhalangan). Adapun udzur yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa antara lain adalah : (1) perjalanan (al-safar), dengan catatan jarak yang membolehkan qasar (kira-kira 89 km), perjalanan tersebut dilakukan sebelum fajar. Akan tetapi menurut Hanabilah tetap boleh berbuka, meskipun berangkatnya setelah tergelincirnya matahari, selain itu, perjalanan tersebut adalah perjalanan yang mubah, serta si musafir tidak berniat muqim selama empat hati dalam sela-sela perjalanannya, (2) sakit parah yang seandainya berpuasa malah akan membahayakan dan memperparah penyakit yang diderita (3) hamil, apabila si wanita yang hamil khawatir terhadap keselamatan janin dan jiwanya (4) menyusui, sebagaimana wanita yang hamil (5) tua renta, yang tidak memungkinkan lagi berpuasa. Dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qardhawi, ketuaan ini sama halnya dengan sakit yang tak dapat diharapkan kesembuhannya. Pandangan beliau ini berangkat dari sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ مَعَهُ شِفَاءً إِلاَّ الْهَرَمَ
“Sungguh Allah Yang Maha Suci tidak pernah menurunkan penyakit melainkan beserta obatnya sekalian, kecuali penyakit tua renta” (Sunan Ibnu Majah H.3427).
(6) sangatnya rasa lapar dan haus yang dikhawatirkan bisa membinasakan jika tetap berpuasa (7) adanya paksaan dan ancaman. Artinya, orang tersebut dipaksa agar tidak berpuasa, dan jikalau tetap berpuasa maka akan dibunuh. (al-fiqh al-islam wa adillatuh, II, 642 ; fiqh al-siyam, 58).
Berikutnya, sebagaimana dengan sopir yang memutus puasa? profesi sopir tergolong pekerjaan yang cukup berat, karena membutuhkan stamina yang prima disamping konsentrasi penuh. Menyikapi persoalan tersebut para ulama` terbagi menjadi dua kubu dengan pandangan berbeda.
Kubu pertama, mayoritas ulam` salaf (zaman dulu), termasuk didalamnya salah seorang ulama kontemporer, DR. Wahbah al-Zuhaily. Mereka berpendapat bahwa seorang pekerja berat, seperti sopir dan sebagainya, harus cuti kerja selama bulan Ramadhan. Dan dia wajib berpuasa di bulan tersebut. Namun demikian, kubu Madzhab ini masih mentolerir bagi mereka yang tetap ngotot untuk tidak berpuasa. Mereka dipersilahkan untuk tidak berpuasa asalkan memenuhi beberapa criteria berikut ini:
Pertama, pekerjaan yang digarap harus tidak dapat ditunda sampai bulan berikutnya. Kedua, pekerjaan tersebut tidak dapat dikerjakan pada malam hari. Ketiga, sekiranya memungkinkan dikerjakan dimalam hari, namun tidak cukup waktu untuk menyelesaikannya. Sehingga harus terselesaikan disiang harinya. Keempat, sekiranya berpuasa akan membuatnya jatuh sakit. Kelima, tetap berniat puasa di malam hari, dan baru diperbolehkan berhenti puasa ketika dia sudah benar-benar tihak mampu melakukannya. Keenam, bermaksud menjalnkan rukhsah (keringanan yang diberikan Allah), akan tetapi tidak boleh hanya semata-mata untuk memproleh rukhsah. (al-Fiqh al-Islamy wa adlillatuhu, II, 642; bukhyah al-mustaryidin, 112-113).
Kubu kedua, kelompok yang berpendapat boleh bagi sopir untuk tidak berpuasa. Dengan syarat perjalanan tersebut memenuhi keriteria perjalanan sebagaimana dijelaskan di depan.
Kalangan Syafi`iyah menambahkan syarat lain, yaitu: a. tidak boleh terus menerus dalam perjalanan, karena akan menyebabkan putusnya kewajiban secara keseluruhan. Persoalan ini sebenarnya masih debatable (masih diperdebatkan). Menurut Ibnu Hajar, pendapat yang lebih awjah (beralasan) adalah seseorang boleh tidak berpuasa, meskipun dia senantiasa melakukan perjalanan, dengan alasan bahwa puasa bisa diganti dengan membayar fidyah (memberi makan), b. bukan perjalanan maksiat. (al-Fiqh al-Islamy wa Adlillatuhu, II, 641-642; nihayatu al-Muhyaj, III, 186).
Dari alasan di atas, tidak dibenarkan bagi seorang sopir untuk memutus puasanya dengan alasan melakukan perjalanan semata. Akan tetapi juga dia beralasan karena masyaqqat (menyengsarakan dirinya). Maka masih ada peluang baginya untuk mengambil rukhshah (dispensasi tidak berpuasa). Dan baginya tetap wajib mengganti di lain waktu sekalipun dia tidak puasa tersebut lantaran rukhshah.
Nah, masalahnya sekarang adalah bagaimana dia mengganti puasanya, padahal setiap hari dia tidak bisa lepas dari pekerjaannya sebagai sopir. Sudah barang tentu dia tidak ada kesempatan baginya untuk mengganti. Sebagai solusi, kiranya tawaran Dr. Yusuf al-Qardhawi bisa kita jadikan acuan. Menurut pandangan beliau, seseorang yang berfrofesi menjadi pekerja berat boleh saja tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan cukup membayar sanksi financial, berupa memberi santunan bahan makanan kepada para fakir miskin. Dengan rincian setiap hari mengeluarkan satu mud (6 ons) untuk satu orang fakir miskin (fiqh al-Syiyam, 59).
Dengan demikian, kewajiban yang harus dia keluarkan untuk fakir miskin adalah dia keluarkan antara 174/180 ons atau 17,4 kg/18 kg, dengan kalkulasi sebagai berikut : 6 ons x I bulan (29/30 hari), yaitu sebesar 174/180 ons. Artinya, jika bulan Ramadhan selama 29 hari, maka mereka harus membayar sanksi sebesar 17 kg + 4 ons makanan pokok setiap hari. Sedangkan juka bulan Ramadhan tersebut 30 hari, maka mereka hberkewajiban membayar sanksi sebesar 18 kg dari makanan pokoknya.
Dr. yusuf al-Qardhawi, dalam kitab fiqh al-Syiyam-nya memandang profesi sopir ini termasuk dalam pekerjaan berat, sebagaimana pekerja tambang, pekerja di pabrik roti, sopir, pilot pesawat, nahkoda kapal lait dan sebagainya. Dalam pandangan al-Qardhawi, mereka ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan cukup hanya dengan mengganti sanksi sebagaimana di tegaskandi atas.
Kita sepenuhnya maklum, bahwa seorang sopir ketika mengemudikan kendaraannya membutuhkan stamina dan konsentrasi yang penuh. Sebab, sedikit saja konsentrasinya buyar, maka akibatnya akan sangat fatal. Bisa saja terjadi kecelakaan yang tidak hanya mengorbankan dirinya, tetapi juga mengoorbankan dan merenggut nyawa orang lain. Nauudzubilla min dzalik!
(Img: inginsekalisehatt)