Suatu ketika, kaum Khawarij mendengar sabda Nabi Muhammad saw. :
انامدينةالعلم و عليّ بابها
“Aku adalah kota ilmu, dan Ali gerbangnya.”
Melihat kenyataan tersebut, mereka tidak mau menerimanya. Lalu berkumpullah para tokoh Khawarij untuk membuktikan hal tersebut.
“Kita tanyakan saja kepada Ali, sepuluh pertanyaan yang sama. Jika dia memberikan alasan yang berbeda, maka benarlah apa yang dikatakan Nabi,” usul seorang tokoh.
Mereka kemudian mendatangi Sayyidina Ali secara bergilir dan melontarkan pertanyaan yang sama : “Lebih utama mana ilmu atau harta?”
Sayyidina Ali pun, selalu menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sama: ilmu. Akan tetapi dengan alasan berbeda.
Kepada penanya pertama, ia menjelaskan ilmu warisan para nabi, harta merupakan warisan Qarun, Fir’aun dan lainnya.
“Ilmu menjagamu, sedang harta kamulah yang menjaganya,” terangnya kepada penanya kedua.
“Pemilik ilmu sahabatnya banyak, pemilik harta musuhnya banyak.
“Ilmu akan bertambah jikau kau pergunakan. Harta akan berkurang jika kau gunakan.”:
Kepada orang kelima dijawabnya, ”Pemilik ilmu akan dohormati dan dimuliakan. Pemilik harta akan ada yang menjulukinya si pelit.
“Harta perlu dijaga dari pencuri, ilmu tidak perlu menjaganya.
“Pemilik harta pada hari Kiamat akan dimintai tanggung jawab. Pemilik ilmu akan menadapat syafaat.
“Ketika dibiarkan dalam waktu yang lama harta akan rusak. Sedangkan ilmu tak akan musnah dan lenyap.
“Harta membuat hati jadi keras. Ilmu menjadi penerang hati.
“Pemilik harta akan dipanggil Tuan Besar. Pemilik ilmu akan dijuluki ilmuan. Andaikata kalian hidupkan banyak orang, maka aku akan menjawabnya dengan jawaban berbeda, selagi aku masih hidup,” tegas Sayyidina Ali kepada penanya terakhir.
Dan akhirnya, mereka pun kembali dalam pengakuan Islam.
(Ajie Najmuddin/ disarikan dari kitab al-Mawaidhu al-Ushfuriyyah karya Syeikh Muhammad bin Abu Bakar)