Karya besar kiai atau ulama  tidak semata berupa buku catatan atau kitab. Kiprah dan dedikasi tidak ubahnya sebuah prasasti yang layak menjadi monumen kehidupan. Mbah Bisri, sapaan KH Bishri Syansuri adalah di antara sosok yang layak menjadi uswah hasanah bagi para santri dan pegiat Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam sebuah kesempatan, KH. Abdul Aziz Masyhuri mendampingi KH. Bishri Syansuri saat Muktamar NU XXVI, tahun 1979 di Semarang. Di sana, banyak tamu luar negeri yang disamping ikut menyaksikan berlangsungnya muktamar juga menemui Mbah Bishri. Banyak tamu yang mengagumi keberhasilan Mbah Bishri dalam memimpin NU meskipun usia pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur itu sudah senja.
Di antara sekian banyak tamu, terdapat seorang guru besar Masjidil Haram bernama Syekh Zakariya bin Syekh Abdillah Billah yang mengikuti rombongan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani Makkah. Syekh Zakariya punya beberapa karya tulis, di antaranya berjudul al-Jawahirul Hisan yang saat itu belum selesai dia tulis. Dalam karya tersebut, Syekh Zakariya ingin memasukkan biografi Mbah Bishri. Untuk keperluan itu, Kiai Aziz Masyhuri, yang merupakan cucu menantu Mbah Bishri, diwawancarai oleh Syekh Zakariya. Di antara pertanyaannya adalah mengenai karya tulis Mbah Bishri yang sudah dicetak. ”KH. Bishri Syansuri memang tidak banyak menulis karya berupa buku,” jawab Kiai Aziz.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar ini memaklumi pertanyaan tersebut, sebab untuk mengukur kebesaran seseorang kadang-kadang dinilai dari banyaknya buku dibuat. Namun, melihat kiprah Mbah Bishri, jelas penilaian di atas kurang tepat. Sebab, karya monumental Mbah Bishri bersama beberapa ulama lain adalah organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU) serta orang-orang besar yang dibimbing Mbah Bishri dalam rapat, pengajian di rumah dan masjid, diskusi di dalam perjalanan, di dalam rapat politik, maupun dalam berbagai kesempatan lain.
Buah pikirannya juga terurai di mana-mana, dalam banyak kesempatan dan peristiwa, dikembangkan oleh banyak kader dan santri, dan tidak sempat dibukukan. Adapun perkara minim dan nihilnya pendokumentasian gagasan dan buah pemikiran Mbah Bishri ini juga dapat dimaklumi karena selama beliau hidup tidak memiliki seorang sekretaris maupun asisten pribadi yang bertugas mencatat pemikirannya. Jadual yang sangat padat dan aktivitasnya sebagai pemimpin umat, sejak muda hingga menjelang kewafatan pada usia kurang lebih 96 tahun, ternyata dirasa cukup kurang untuk bisa memiliki waktu luang menulis buku.
Sebaliknya, dalam kurun 70 tahun, waktunya digunakan untuk membina umat, mengasuh pesantren, menemani kalangan ulama, berdiskusi dengan politisi dan kelompok pergerakan, berjuang di era perang kemerdekaan, dan menyediakan diri sebagai nahkoda NU.
Benar, Mbah Bishri memang tidak sempat menulis buku beraksara A, B, C maupun Alif, Ba, Ta dan seterusnya, tapi beliau telah menulis dalam jiwa para santri, kader, dan masyakat melalui keteladanan selama hidupnya. Jadi, Mbah Bishri tidak menulis buku, karena hidupnya adalah teks terbuka yang bisa dibaca oleh siapapun. (Rijal/s@if)