Kitab “Tashrifan” sangat masyhur. Banyak diajarkan di madrasah serta pondok pesantren di Tanah Air. Bahkan kitab ini diajarkan di manca negara khususnya Timur Tengah. Sebuah pencapaian yang layak diapresiasi.
Kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah – yang dikenal dengan kitab ilmu sharaf merupakan karya KH M Ma’shum bin Ali asal Pesantren Seblak Diwek Jombang. Susunan bait-baitnya sangat sistematis, sehingga mudah difahami dan dihafal bagi para pelajar dan santri. Hampir di seluruh lembaga pendidikan madrasah yang ada di Indonesia bahkan negara Islam lain, kitab ini menjadi salah satu bidang studi yang tetap dikaji. Saking masyhurnya, kitab ini mempunyai julukan “Tasrifan Jombang”.
Keagungan kitab ini tidak hanya terletak pada ilmu sharaf. Bila diteliti, ternyata sistematikanya memuat makna filosofi yang sangat tinggi. Kitab ini bukan saja mempunyai sistematika penulisan yang unik, akan tetapi memiliki filososfi pengajaran perilaku kehidupan. Salah satu contoh bisa dilihat pada fi’il tsulasi mujarrad misalnya. Dalam enam kalimat yang disebut ternyata mengandung filososfi kehidupan.
Sistematika penulisan yang unik, dan memiliki filososfi bahwa “Pada awalnya sang santri yang menuntut ilmu ditolong oleh orang tuanya (نَصَرَ – nashara), sesampainya di pondok pesantren ia dipukul dan dididik (ضَرَبَ –dlaraba). Kemudian setelah tersakiti dari dipukul, maka hatinya akan terbuka (فَتَحَ – fataha). Seterusnya barulah ia akan menjadi orang yang mengetahui/pintar (عَلِمَ – ‘alima) dan seterusnya menuntut ia agar berbuat baik (حَسُنَ –hasuna). Maka ia berharap masuk surga di sisi Allah swt (حَسِبَ – hasiba).
Dan terdapat juga dari sistematis susunan keenam kalimat di atas dirangkumi menjadi sebuah nazham yaitu:
فَتْحُ ضَمٍّ فَتْحُ كَسْرٍ فَتْحَتَانِ * كَسْرُ فَتْحٍ ضَمُّ ضَمٍّ كَسْرَتَانِ
Kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah terdiri dari 60 halaman. Untuk mendapatkannya tidak akan kesulitan karena di hampir semua toko kitab apalagi di lingkungan pesantren banyak dijual. Hal ini ditambah sejumlah penerbit telah menggandakannnya.
Pribadi Haus Ilmu
Pengarang kitab ilmu sharaf – al-Amtsilah at-Tashrifiyyah adalah KH Maksum Ali Seblak Jombang yang merupakan menantu dari pendiri NU, hadratus syeikh KH Hasyim Asyari yang juga pendiri Pesantren Tebuireng. Nama lengkap KH Ma’shum adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Jabbar al-Maskumambani. Beliau lahir di Maskumambang, Gresik, tepatnya di sebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar kepada sang ayah, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng. Ia termasuk salah satu santri generasi awal hadratus syeikh. Pada masa itu, selain dituntut untuk belajar, para santri juga diharuskan ikut berjuang melawan penjajah. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali–kelak atas inisiatif hadratus syeikh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo Cukir.
Bertahun-tahun lamanya pemuda Ma’shum mengabdi di Tebuireng. Kemampuannya dalam segala bidang ilmu, terutama bidang falak, hisab, sharaf, dan nahwu, membuat Mbah Hasyim tertarik untuk menikahkan dengan putrinya, Khairiyah.
Seblak sendiri adalah sebuah dusun yang terletak sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran, seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan hadratus syeikh. Melihat kondisi ini, Kiai Ma’shum merasa terpanggil untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, di sekitar rumah tersebut kemudian didirikan pondok dan masjid, yang berkembang cukup pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, Kiai Ma’shum tetap istiqomah mengajar di Madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng, membantu hadratus syeikh mendidik santri. Pada tahun berikutnya, beliau diangkat menjadi mufattis (pengawas) di madrasah tersebut.
Kiai Produktif Tak Tergantikan
Meskipun tidak sebanyak hadratus syeikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangat monumental. Bahkan, tidak sedikit orang yang lebih mengenal kitab karangannya dibanding dirinya sendiri. Setidaknya ada empat kitab karya beliau;
Pertama adalah al-Amtsilah at-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”.
Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH Saifuddin Zuhri.
Kedua yakni Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Kitab ini diterbitkan Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1920-an, ketika Kiai Ma’shum masih hidup. Jumlah halamannya lumayan tipis tapi lengkap. Kitab ini juga tidak sulit ditemukan di pasaran.
Ad-Durus al-Falakiyah adalah karya beliau yang ketiga. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak rumit, tetapi bagi yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari, dan sebagainya. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz. Setiap juz terdiri satu jilid dengan jumlah 109 halaman.
Kitab keempat adalah Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya demikian banyak, berjalan mengelilingi bumi.
Sebagai kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagi sosok yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak di antara masyarakat yang tidak mengetahui kalau sebetulnya beliau ulama besar. Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar bila dibandingkan dengannya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di atas perahu, yakni selama dalam perjalanan haji. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasil dari perjalannya itu sehingga mampu merampungkan kitab kitab Badi’ah al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong, sesaat menjelang wafat seluruh fotonya dibakar. Padahal koleksi itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tidak lain karena beliau takut identitasnya diketahui banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.
Kehidupan keseharian Kiai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada sang mertua sekaligus maha gurunya yakni hadratus syeikh, beliau sering menghadiahkan kitab. Sepulangnya dari Makkah tahun 1332 H, beliau tidak lupa membawakan kitab al-Jawahir al-Lawami’ sebagai hadiah. Bahkan kitab as-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama hadratus syeikh ketika mengarang kitab.
Almarhumah Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan bahwa suatu ketika Kiai Ma’shum pernah berdebat dengan hadratus syeikh tentang dua persoalan. Pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Ma’shum, foto tidak haram. Sedangkan hadratus syeikh berpandangan sebaliknya.
Persoalan kedua adalah permulaan bulan puasa. Kiai Ma’shum telah menentukannya dengan hisab(perhitungan astronomis), sedangkan hadratus syeikh memilih dengan teori ru’yat (observasi bulan sabit). Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Ma’shum di Seblak lebih dahulu berpuasa daripada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama ini sering berbeda pendapat, namun hubungan tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar.
Tanggal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’shum wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Beliau wafat pada usia 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan ”musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng, karena beliaulah satu-satunya ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah hadratus syeikh. Hingga kini, belum ada seorang ulama pun yang mampu menggantikannya. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah SWT dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummagfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi. Amin. (s@if)