Agama Islam masih dimaknai dengan beragam tafsir. Upaya meyakinkan bahwa agama ilahi ini membawa pesan kebaikan, harus senantiasa didengungkan. Berikut catatan Achmad Murtafi Haris, MFil.I yang tengah menimba pengalaman sebagai research scholar di Hartford Seminary Connecticut USA. Selama hampir empat bulan ia melakukan kunjungan ke negara Paman Sam.
Terkait keberadaan atau kehadiran Islam di Amerika terdapat versi yang mengatakan bahwa Islam telah hadir sebelum kedatangan Christopher Columbus pada abad ke-15. “Sementara versi yang umum diketahui orang adalah bahwa Columbus orang yang pertama menemukan benua Amerika ketika diperintahkan oleh Raja Philip II untuk mencari kawasan perdagangan baru,” kata bapak kelahiran Surabaya, 4 Maret 1970 ini. Terlepas dari kemungkinan Islam telah hadir sebelum Columbus, di mana Islam setelah Rasulullah wafat dengat cepat melesat sampai ke Eropa dan bertahan di Spanyol lebih dari tujuh abad. Di mana dimungkinkan dalam rentang waktu itu ada yang berlayar ke dataran Amerika, namun sejarah kontemporer menunjukkan minimnya imigran muslim jika dibandingkan yang lain.
“Setidaknya dalam Musium Imigrasi yang ada di Ellis Island tidak nampak tayangan kehadiran warga muslim,” kata Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Ta’lif wan Nashr (LTN) NU Jatim ini. Yang nampak adalah mayoritas warga Eropa dan Tionghoa. Selain itu terdapat warga Sikh India dengan ciri khas udeng sebagai penutup rambutnya. “Dengan demikian bisa dipastikan bahwa kedatangan umat muslim atau warga Arab terjadi pasca Perang Dunia II,” kata dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Surabaya ini. Yaitu tatkala Amerika sebagai negara menjajikan lapangan kerja yang bagus bagi siapa saja, lanjutnya. Tidak mengherankan jika jumlah umat Islam Amerika terbilang kecil yaitu sekitar tujuh juta sesuai hitungan Hartford Seminary. “Angka tersebut bukanlah data resmi pemerintah lantaran KTP di Amerika tidak mencantumkan agama sehingga untuk mengetahui jumlah penganut agama tertentu perlu penelitian tersendiri,” tandas alumnus jurusan Shariah wal-Qanun, Fakultas Shariah wal-Qanun Universitas al-Azhar Cairo ini.
Melawan Stigma Buruk
Citra umat Islam amatlah buruk pasca tragedi 11 September 2001. Kejadian yang meruntuhkan dua gedung kembar WTC di New York itu serta merta menimbulkan stigma negatif terhadap umat Islam. “Gara-gara kejadian itu mereka harus menghindari kegiatan berkumpul di mana pun, seperti shalat berjamaah, dan sebagainya,” terangnya. Untuk memulihkan citra, umat Islam berupaya mengubah pandangan buruk terhadap Islam.Yaitu pandangan yang mengidentikkan Islam dengan kekerasan.
“Hal ini sungguh bukanlah hal yang mudah melihat banyaknya konflik terjadi di negara-negara Islam,” sergahnya. Ada dua kata yang menjadi bahan propaganda anti-Islam di Amerika, yaitu: Jihad dan Syariah. “Jihad diasosiasikan sebagai ajaran dalam Islam yang mengajak umatnya berperang secara militer,” ungkap Haris. Sedangkan syariah diasosiasikan sebagai ajaran dalam Islam yang mengandung hukuman yang menakutkan yang harus diterapkan meski hal tersebut bertentangan dengan tradisi setempat, lanjutnya.
Dua hal ini dijawab oleh umat Islam Amerika dengan menampilkan Islam sebagai agama toleran dan bersahabat dengan agama lain. Dua hal tersebut juga menuntut adanya reinterpretasi terhadap teks-teks yang berpotensi mengandung nilai intoleransi dalam Islam. Untuk pemahaman teks tidak lagi bisa terlepas dari konteks. Jika dalam salah satu hadits disebutkan, bahwa manakala berjumpa dengan kaum kafir maka fadltarruhu ila adlyaqihi, maka persempitkanlah ruang mereka. Hadits semacam ini tidak mungkin diterapkan secara tekstual. “Sebab jika demikian justru akan merugikan umat Islam yang minoritas,” terang alumnus strata dua konsetrasi Pemikiran Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini. Bagaimana mungkin minoritas memper sempit ruang mayoritas atau penganut Kristiani di Amerika? Kecenderungan yang terjadi adalah sebaliknya, mayoritas mempersempit peluang minoritas. Dalam hal ini, apalagi pasca kejadian 9/11, terdapat sekolompok warga Amerika yang mendeskriminasikan mereka di banyak peluang. “Bahkan ada kelompok anti-Islam yang menginginkan umat Islam diusir dari Amerika,” kata mantan koresponden Majalah Gatra untuk Timur Tengah ini menyanyangkan.
“Untuk itu pemaknaan ulang terhadap ajaran khususnya terkait hubungan antara muslim dan non-muslim menjadi sebuah keniscayaan,” tandasnya. Hal ini bisa dilakukan dengan meletakkannya pada sudut pandang yang seimbang antara kondisi sebagai mayoritas dan minoritas. “Jika tidak, maka akan terjadi sikap yang merugikan umat Islam sendiri terutama ketika mereka berada pada posisi minoritas,” terangnya.
Relasi hubungan muslim dan non-muslim haruslah diletakkan dalam konteks situasi yang netral atau damai. Hal ini berbeda dengan situasi di masa Rasulullah hidup atau di awal kedatangan Islam yaitu era peperangan dan era penindasan penguasa terhadap rakyat kecil.
“Sebagai kelompok minoritas, umat Islam Amerika terlibat aktif dalam dalam kegiatan dialog antar umat beragama dan kegiatan pluralism,” katanya. Sebagai warga negara yang baik, mereka terlibat dalam kegiatan bakti negara (civic responsibility) seperti yang dilakukan oleh Jaye Starr, seorang muallaf lima tahun yang lalu yang juga mahasiswa S2 di Hartford seminary, yaitu proyek penanganan pengungsi.
Umat Islam Amerika juga tidak segan-segan meleburkan diri dengan mayoritas Kristen Amerika dan mengekspresikan cinta kasih mereka. Seperti melalui kaos yang digunakan oleh seorang pemuda Muslim bertuliskan: “I love Jesus”. Suatu hal yang seolah bertentangan dengan akidah Islam, padahal tidak. “Sebab selain untuk menunjukkan hubungan baik lintas agama, Jesus adalah Nabi Isa yang memang dicintai oleh orang Islam,” ungkapnya. Sehingga mencintai Jesus tidak harus dimaknai sebagai mempercayai Jesus sebagai Tuhan, tapi dengan makna yang sesuai keyakinan Islam, lanjut kandidat doktor UGM ini.
Untuk mempromosikan Islam damai, dalil-dalil pro perdamaian baik dari al-Qur’an maupun Hadits sering mereka tampilkan. Seperti bahwa Islam berarti damai; tidak ada paksaan dalam beragama; dan penghargaan terhadap budaya lokal. “Untuk yang terakhir, ditampilkan kisah bahwa Rasulullah ketika sedang di rumah melihat ada sekelompok pemuda Afrika yang bernyanyi dan menari dan Siti Aisyah pun ikut melihat di belakang beliau dari balik jendela,” katanya. Rasulullah berkomentar, bahwa ini adalah hari raya mereka dan bahwa semua bangsa memiliki hari raya. Tanggapan Rasulullah ini menjadi landasan akan penghargaan terhadap budaya asing atau lokal dan pengakuan terhadap keanekaragaman. “Hal ini tercantum dalam konsep pergaulan warga muslim Amerika,” pungkas peneliti Centre for Social Research and Advocacy (CeSRA) Surabaya ini. (s@if).