Ilmu tanpa adab (etika) bagaikan pohon tanpa buah. Ilmu yang tidak dapat mendekatkan diri sang pemiliknya kepada Allah merupakan suatu kebodohan. Ilmu yang membuat pemiliknya menganggap lebih mulia dari orang lain adalah ilmu setan. Sebab salah satu indikasi orang alim adalah rendah hati.
Demikian salah satu nasihat Sayyid Ahmad Hadi Al-Hasani, Syaikh Thariqat Tijaniyah dari Tunisia kepada para santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo kemarin. Pagi harinya, Sayyid Ahmad memberikan kuliah umum dalam ilmu Tasawuf kepada santri Ma’had Aly, kemudian setelah shalat dzhuhur bersama memberi mauidhah hasanah kepada ribuan santri putra dan setelah shalat asar kepada santri putrid.
Menurut Sayyid Ahmad, Nabi Muhammad SAW sangat memperhatikan adab. Salah satu adab beliau, beliau kalau hendak hajat pergi keluar kota Makkah, sejauh lima kilometer. Mengapa? Karena Nabi Muhammad menghormati Ka’bah. “Padahal menurut ulama, Nabi Muhammad lebih mulia dari ka’bah,” imbuh Sayyid Ahmad.
Dalam pandangan Mursyid Thariqat tersebut, kita harus menjaga adab anggota badan, yaitu sejauhmana kita menjaga anggota badan dari maksiat. Karena kalau kita mampu menjaga anggota badan maka kita akan mampu pula menjaga hati. Kemudian kita juga harus menjaga adab terhadap lisan dan makanan kita. Karena orang yang mampu menjaga lisan dan makanan merupakan langkah pertama sebagai kekasih Allah, waliyullah.
Manusia terdiri dari badan, hati, dan ruh. Begitu pula dengan Islam terdiri dari tiga unsur yaitu syariat, thariqat, dan hakikat. Kalau ingin memperdalam syariat datanglah kepada fuqaha’, kalau ingin belajar thariqat datangilah para guru sufi, dan kalau ingin mengetahui hakikat pergilah ke ahli hakikat. “Manusia yang sempurna harus menempuh ketiga ilmu tersebut,” ujarnya.
Sayyid Ahmad berharap, agar para santri memperdalam ilmu syariat. Tapi kalau tidak mampu, silakan mengambil ilmu syariat yang penting-penting saja, kemudian harus menyibukkan diri dengan ilmu thariqat dan tasawuf. Dalam pandangannya, mempelajari ilmu tasawuf merupakan kewajiban individual (fardhu ain). Karena ilmu tasawuf sebagai penuntun kita yang berkaitan dengan penyucian hati. Karena ilmu syariat tujuannya untuk mencapai ilmu hakikat.
Ilmu syariat dan thariqat sekadar alat. Karena itu, jangan terlalu memperbanyak alat tapi tidak pernah digunakan atau diamalkan. Sayyid Ahmad juga menghimbau agar orang yang menuntut ilmu memperbaiki niatnya. “Tujuan menuntut ilmu agar pintar untuk beribadah dengan benar,” imbuhnya.
Menurut Syaikh Tunisia tersebut, untuk menjadi waliyullah tidak disyaratkan memiliki kedalaman dalam ilmu dhahir tapi dituntut memiliki ilmu rabbaniyyah. Seorang kekasih Allah cukup memiliki ilmu untuk beribadah dengan betul tapi memiliki ilmu untuk membetulkan hati.
Konon, pada zaman dulu, terdapat sekumpulan ulama naik perahu, mengadakan kunjungan ke suatu daerah di pesisir. Para ulama tersebut kemudian istirahat. Di sela-sela istirahat, mereka asyik berdebat masalah keilmuan dan mencoba mengetes salah seorang penduduk setempat untuk praktik shalat. Penduduk itu, seorang pengembala kambing.
Pengembala kambing lalu mempraktikkan shalat dihadapan mereka. Setelah takbiratul ihram, ia membaca “kambing putih, kambing hitam…”.
“Wah bacaanmu salah! Kawan, tolong ajari pengembali kambing ini,” ujar salah satu diantara mereka. Maka salah seorang ulama tersebut mengajari pengembala kambing tersebut bacaan shalat. Pengembala kambing pun hafal praktik shalat. Namun kemudian ia lupa lagi, seiring kepergian rombongan ulama tersebut. Maka sang pengembala kambing itu berlari mengejar ulama yang naik perahu. “Eh, tunggu saya lupa bacaan shalat…” ujarnya sambil berlari kencang.
Rombongan ulama tersebut heran. Karena sang pengembala kambing berlari-lari mengejarnya di atas lautan tanpa naik perahu. Mereka kagum, ternyata mereka kalah dengan pengembala kambing. “Terserah kamu… terserah kau mau membaca apa….” katanya.
Sumber : Sukorejo.com