Manifestasi Ajaran Aswaja dalam Berpuasa

0
283

Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah atau ASWAJA terkadang juga dikenal dengan sebutan Sunni adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam aqidah (kepercayaan), syariat (hukum agama Islam) maupun tasawuf. Secara terperinci Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah dalam bidang teologi atau aqidah mengikuti faham Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam al-Mathuridi. Sedangkan Bidang Syari’at (fiqih)  mengikuti salah satu dari dari empat madhhab besar, yaitu madhhab Hanafi, madhhab Maliki, madhhab Syafi’i dan madhhab Hambali.  Dalam bidang tasawuf menisbatkan kepada dua tokoh sufi yaitu Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad bin al-Junayd al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.

Sedangkan menurut Prof.Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A. Dalam Bukunya Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah Dalam Lintasan Sejarah menjelaskan  Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah sebagai manhaj al-fikr al-din al-syamil ‘ala syu’un al-hayat wa muqtadhayatiha al-qaim ‘ala asas al-tawassuth wa al-tawazun wa al i’tidal wa al-tasamuh (metodologi berpikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan dalam akidah, penengah, dan perekat dalam kehidupan sosial, serta keadilan dan toleransi dalam  politik). Secara sederhananya Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah bisa dikatakan manhaj al-fikr (metode berpikir). Untuk membedakan Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah yang dikonstruk oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan diluar NU biasanya para Kiai NU menambahkan kata An-Nahdliyah dibelakang term Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah sehingga menjadi Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah An-Nahdliyah.

Manifestasi ajaran Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah (untuk selanjutnya disebut ASWAJA)dalam berpuasa berati mengimplementasikan prinsip-prinsip ajaran ASWAJA. Prinsip-prinsip ajaran tersebut antara lain: tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), i’tidal (adil/benar) dan tasamuh(toleran).

Tawassuth (Moderat)

Islam pada hakikatnya adalah agama yang moderat, moderat adalah Islam itu sendiri. Kalau ada tipologi Islam Radikal, Islam Liberal itu sebenarnya adalah tipologi yang dinisbatkan kepada pemahaman pemeluknya dalam memahami Islam. Salah satu rukun Islam adalah berpuasa, lalu bagaimana mengimplemantasikan ajaran tawassuth  sebagai prinsip ajaran Islam ASWAJA. Mengimplementasikan prinsip tawassuth (moderat) dalam berpuasa berarti menyeimbangkan ranah jasmani dan rohani dalam berpuasa.

Ketika berbuka dan sahur maka harus makan makanan dengan yang halal dan baik serta memenuhi gizi seimbang, istirahat yang cukup, dan olahraga secukupnya. Bukan berarti dengan waktu siang kita tidak makan dan minum, maka waktu buka puasa melakukan balas dendam dengan makan dan minum sebanyak- banyaknya. Atau kebalikannya tidak mau melakukan sunnah sahur.  Dalam memenuhi kebutuhan rohani atau spritual juga begitu harus pas atau cukup. Bukan berarti ketika bulan Ramadlan melakukan ibadah terus menerus lupa kewajiban keluarga dan sosial, akan tetapi mampu mengatur dirinya dalam melakukan ibadah. Ibadah tidak hanya ibadah langsung, namun ada ibadah tidak langsung seperti bekerja, belajar dan aktivitas positif lainnya. Berpuasa dengan prinsip tawassuth (moderat) ini berarti berada di tengah- tengah antara paham materialisme akut dengan spritualisme akut.

Tawazun (seimbang)

Berpuasa dengan prinsip Tawazun (seimbang) berati menyeimbangkan antara aspek keshalihan invidu dengan aspek keshalihan sosial. Ibadah puasa hakikatnya tidak hanya ibadah yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah) tetapi juga menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya (Hablumminannas), bahkan menyangkut hubungan manusia dengan alam sekitar (Hablumminalalam).

Substansi berpuasa sebenarnya agar manusia bisa merasakan lapar dan dahaga yang dialami saudaranya, sehingga akan menimbulkan kepekaan sosial. Itulah mengapa dalam rukun Islam ada zakat. Zakat adalah suatu kewajiban bagi umat Islam  yang memenuhi syarat, berarti zakat adalah suatu rangsangan pertama dalam hal manusia sadar untuk mengeluarkan sebagaian hartanya untuk orang yang membutuhkan. Salah satu pintu untuk meraih keberkahan dari Ramadlan adalah dengan mengeluarkan sebagian harta kita, baik itu zakat, infaq, maupun shodaqoh. Bisa kita bayangkan kalau umat Islam mengeluarkan zakat fitrah dan juga maal, maka ketimpangan dalam ekonomi akan teratasi.

I’tidal (Adil/Benar)

Manifestasi prinsip I’tidal (Adil/Benar) dalam berpuasa berarti melakukan puasa secara ikhlas benar-benar karena Allah SWT. Puasa berbeda dengan ibadah yang lainnya yang bisa diukur dan bisa diberi indikatornya. Sedangkan puasa yang tahu kita benar-benar puasa atau tidak hanya Allah SWT dan kita. Bahkan untuk pahala kita tidak bisa mengira-ngira dan hanya Allah SWT yang tahu. Puasa dengan prinsip I’tidal ini berati puasa yang tidak hanya cukup menahan lapar dan dahaga serta yang membatalkanya dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Namun puasa yang sesuai dari esensi puasa itu sendiri, yakni bisa membentuk pribadi muslim yang bertaqwa. Hal tersebut memang sulit apalagi bagi kita orang awam, namun kita harus menuju puasa model tersebut, sesuai kadar kemampuan. Sehingga pribadi ketakwaan orang yang berpuasa bisa dirasakan oleh sesamanya yakni masyarakat sekitar.

Tasamuh (Toleran)

Tasamuh (Toleran) atau dalam bahasa Jawa disebut Teposliro. Sejatinya tasamuh adalah ajaran universal yang ada dalam tradisi apapun. Hal ini dibuktikan di Nusantara dalam hal ini Indonesia ada ajaran tentang toleransi. Dalam tradisi Jawa juga ada ajaran tentang teposliro. Ketiga ajaran tersebut pada hakikat substansinya sama, bahkan menjadi terjemah satu dengan yang lainnya. Berpuasa dengan mengimplementasikan prinsip tersebut berarti mampu mensifati diri dengan sikap terbuka. Sikap terbuka ini penting dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Karena hal ini menyangkut dari umat Islam yang ada di Indonesia, yakni sebagai warga Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang berada di Indonesia. Sehingga dengan pemahaman tersebut menjadikan kita warga yang religius sekaligus nasionalis.

Pada ranah kehidupan beragama maka kita tidak merasa paling benar dengan pemahaman kita, serta kita bisa toleransi dengan pemahaman yang berbeda dengan kita. Misalnya Si A karena mengikuti pendapat tertentu puasa Ramadlan lebih dahulu, dan kita besoknya, kita tidak boleh mencemoohnya. Sedangkan dalam ranah bermasyarakat maka tidak mentang-mentang kita berpuasa maka meminta mereka menghormati kita. Misalnya meminta dengan paksa penjual warung nasi pada siang hari untuk tidak berjualan, padahal mata pencaharianya cuma itu saja. Dalam ranah bernegara maka kita harus bisa menempatkan diri kita sebagai orang Indonesia yang beragama Islam dengan tidak memaksa negara membuat aturan sesuai dengan ajaran formal umat Islam. Misalnya meminta pemerintah membuat peraturan bagi penjual makanan di siang hari pada bulan Ramadlan agar tutup. Hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan prinsip ASWAJA yakni tasamuh (toleransi). Waullahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thorieq.

*) Oleh Budi Harianto,S.Hum.,M.Fil.I [Dosen IAIN Tulungagung/ Penasehat PAC ISNU Kec.Bago]

Tinggalkan Balasan