Diantara ciri khas kehormatan manusia adalah berbusana atau membungkus dirinya dengan pakaian. Urgensi pakaian bagi umat manusia, minimal karena dua hal. Pertama, sebagai penutup “rasa malu”[1] yang merupakan anugerah sangat berharga dari yang Maha Kuasa. Karena rasa malu ini pula, manusia tidak berani telanjang bulat atau memperlihatkan aib yang ada pada dirinya. Kedua, sebagai pelindung diri dari bahaya, baik yang berasal dari alam sekitarnya seperti hawa panas dan dingin[2] atau yang berasal dari mata “nakal” lawan jenisnya[3]. Karena kedua alasan itulah, pakaian menjadi bagian penting dari peradaban dan keadaban umat manusia.
Bisa dikatakan bahwa fungsi fundamental pakaian bagi manusia adalah sebagai penutup aib atau rasa malu dan proteksi diri dari berbagai bahaya yang datang dari luar. Meskipun demikian, ditangan manusia yang berbudaya, pakaian telah berfungsi sebagai assesoris, hiasan yang bisa mempercantik dan memperindah penampilan serta ukuran status sosial seseorang. Di dalam al-Qur’an Allah SWT. membuat perumpamaan kondisi ideal antara pasangan suami isteri dengan istilah “pakain”, “mereka (isteri–isterimu) itu merupakan pakaian bagi kalian dan kalian juga pakain bagi mereka’[4]. Hal ini bisa diartikan bahwa antara suami dan isteri harus bisa saling menutupi aib, saling melindungi, tidak saling mempermalukan satu sama lain, menjadi hiasan serta saling mengangkat martabatnya ditengah-tengah masyarakat dimana mereka hidup.
Mengingat kita semua sesama umat manusia ini sesaudara, maka yang satu mesti bisa menjadi pakain terhadap yang lain karena pakaian atau busana merupakan kebutuhan fundamental setiap manusia. Pertama, menutupi aib orang lain. Nabi kita bersabda, “barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat dan barang siapa yang membuka aib saudaranya, maka Allah akan membuka aibnya sehingga dia tercela didalam rumahnya sendiri” [5]. (HR. Ibnu Majah). Menutupi aib orang lain merupakan perbuatan mulia, karena setiap orang memiliki kelemahan dan aib. Kalau saja Allah membuka aib setiap orang, kita semua akan merasa malu, tidak ada orang yang baik seratus persen. Bukankah di balik pakaian yang indah menawan dan dibalik kata-kata yang manis menggiurkan, banyak tersimpan kepalsuan dan kebohongan. Jika itu semua dibuka, maka hilanglah rasa saling percaya antar kita. Dan jika rasa saling peraya telah hilang, maka tinggal tunggu kehancuran dunia ini.
Memang setiap orang memiliki aib, akan tetapi pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk yang terbaik diantara sekian makhluknya Allah SWT[6]. Keburukan dan kejahatan bukan sikap dasar atau fithrah manusia. Maka Allah saja menutupi aib seseorang[7], memberi waktu untuk kembali kejalan yang baik terhadap orang yang telah berbuat kesalahan[8]. Lalu kenapa kita yang sama-sama manusia (yang memiliki kelemahan yang sama) tidak mau menutupi aib sesamanya. Menggunjing, menggosip dan menyebarluaskan aib orang lain termasuk perilaku yang sangat ditentang oleh Islam[9]. Bahkan lebih jauh dari itu, memata-matai atau menguntit kesalahan orang lain juga diharamkan oleh Islam. Sebaliknya Islam memerintahkan kita untuk menebarkan sikap simpati, empati dan berperasangka baik (husnu al-zhan) kepada orang lain demi terciptanya persaudaran Islam (ukhuwah islamiyah).
Kedua, melindungi orang yang lemah. Perlu diingat bahwa adanya perbedaan sosial antara yang kuat dan lemah dalam keadaan fisik, ekonomi, ilmu pengetahuan, politik dan lain sebagainya merupakan kehendak Allah dan bagian dari sunnatullah. Eksistensi yang kuat karena disanggah oleh yang lemah, maka yang kuat harus melindungi dan menyayangi yang lemah. Allah SWT yang Maha Kuat dan Kokoh kekuasaannya, memberi contoh dalam menyayangi mereka yang lemah. Dalam sebuah hadits Qudsi diceritakan oleh Imran bin Qushair bahwa suatu ketika Nabi Musa As berkata, “Wahai Tuhanku, dimana aku harus mencarimu?”, maka Allah SWT menjawab,” Carilah aku ditengah orang–orang yang sedang gundah hatinya, sesungguhnya aku setiap hari mendekat kepada mereka satu hasta, seandainya tidak karena mereka, kalian telah dibinasakan”[10]
Rasulullah SAW sendiri dalam posisinya sebagai kepala negara yang memiliki otoritas atas segala sumber daya yang ada dibawah kekuasaannya dan juga sebagai seorang Rasul yang paling dicintai oleh Allah SWT, lebih sering berkumpul dengan kaum dlu’afa’ dibandingkan dengan para pembesar, bahkan sebagai proklamasi atas keberpihakan dan kasih sayangnya terhadap kaum miskin, beliau berdo’a, “yaa Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku kelak dihari kiamat ditengah orang–orang miskin”[11]. Sayyidina Abu Bakar Assiddiq begitu diangkat sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah sebagai kepala negara, langsung berpidato didepan kaum muslimin yang telah mengangkatnya, “Wahai saudara–saudaraku, aku telah kalian angkat untuk memimpin kalian padahal aku bukan yang terbaik dari kalian, maka jika aku berbuat baik, bantulah dan jika aku melakukan kesalahan, luruskanlah, jujur itu amanah dan berdusta itu khianat, orang yang lemah dari kalian, disisiku kuat sampai aku ambilkan haknya (insyaallah) dan orang yang kuat, di sisiku lemah sampai aku ambil haknya (untuk diberikan kepada yang lebih berhak), insyaallah….[12]
Keberadaan mereka yang lemah itu diperlukan oleh yang kuat, maka tidak boleh dieksploitasi apalagi dijadikan mangsa untuk kepentingan sepihak.
Ketiga, jika bisa menjadi penghias bagi orang lain. Artinya pandai-pandai mengangkat kebaikan orang dan memendam keburukannya, mikul dhuwur mendem jero. Siapapun yang dekat dengan kita merasa terhormat dan dihormati tanpa melihat latar belakang kejahatan yang pernah dilakukannya. Itulah makna terpenting dari estetika sebuah busana atau pakaian.
Author: Muzammil, Yogyakarta
[1] Lihat al Qur’an surat al A’raaf ayat ; 26
[2] Lihat surat al Nahl ayat ; 81
[3] Surat Annur ayat : 30-31
[4] Suart al Baqarah, ayat 187
[5] Hadits yang senada diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban. al Hakim dan al Baihaqi
[6] Surat Attin ayat : 4
[7] Salah satu nama Allah adalah sattar yang berarti maha menutupi aib hamba – hambanya.
[8] Salah satu nama Allah juga al Haliim yang berarti maha lembut dan penyabar yang dengan sifatnya tersebut Allah SWT menangguhkan siksanya dan memberi waktu kepada orang yang berbuat dosa didunia untuk bertaubat sebelum nyawanya sampai ditenggorokan.
[9] Dalam surat Annur ayat 19, Allah SWT berfirman,” sesungguhnya orang – orang yang gemar menyebarkan keburukan ditengah – tengah orang – orang beriman, bagi mereka siksa yang pedih didunia dan di akhirat.
[10] al Asbahaniy, Abu Nuaim,hilyat al- auliya’ wa thabaqat al ashfiya’ , juz 6, hal.177
[11] HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani dan Ibnu Majah.
[12] Assuyuthi, Jalaluddin, tarikh al khulafa’, Juz I,hal.27