“Mas…! Ke kantin yuk…?” tanya seorang cewek cantik sambil berlarian menuju sosok pemuda berkulit item manis dan berpostur tinggi.
Pemuda tersebut menoleh ke arah datangnya suara. “Eh, kamu toh. Oke lah. tapi ku ditraktir ya, Beb?” kata Zahran bersemangat sambil mengacungkan jempolnya. Panggilan ‘Beb’ bukanlah panggilan yang biasa digunakan pemuda dengan kekasihnya, melainkan temen ceweknya tuh emang biasa dipanggil Beb oleh temen-temenya. Ada juga yang memanggilnya Hilyah sesuai dengan nama aslinya, Hilyatul Labibah.
Kedua insan itupun terhanyut dalam perbincangannya. Seakan mereka berdua terbawa ke dalam suasana yang sedang mereka bicarakan. Entah apa yang dibicarakan, hanya mereka berdua yang tahu.
“Ada sebuah kisah, dan ini adalah kisah nyata…, Mas mau mendengarkannya kan?” tanya Hilyah memastikan.
“iya”, kata Zahran sambil menganggukkan kepalanya.
“gitu dong. Itu baru Mas ku”, mata indah Hilyah berbinar-binar mendengar jawaban Zahran.
***
Ada seorang pria dan kekasihnya melangsungkan pernikahan setelah beberapa bulan dikenalnya. Acara pernikahan merekapun sungguh mewah dan megah. Semua kawan-kawan, keluarga mereka, dan pejabat setempat pun juga hadir menyaksikan dan menikmati hari bahagia tersebut. Suatu acara yang luar biasa mengesankan.
Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya, dan pengantin pria yang gagah nan tampan dalam kemeja hitamnya. Setiap pasang mata para tamu undangan yang memandang setuju, bahwa mereka adalah pasangan yang cocok, serasi dan tentunya saling mencintai.
Sesekali Hilyah menyeruput es teh di hadapannya. Setelah mengambil nafas sejenak, Hilyah melanjutkan apa yang menjadi tujuannya mengajak Zahran ke kantin.
Beberapa bulan kemudian setelah pernikahan, sang istri berkata kepada suaminya, “Sayang…, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan,” katanya sambil menyodorkan majalah tersebut. “Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut, dan juga bagaimana cara agar pernikahan kita lebih bahagia.” Sederetan kata keluar dari bibir indah sang istri.
Suaminya mengangguk, pertanda setuju. Mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai, dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik, sebab hal tersebut untuk kebaikan mereka bersama.
“Mau dilanjutkan apa nggak nich, Mas?” Hilyah merengutkan wajahnya karena Zahran seakan tak menghiraukannya. “Mulai tadi kok maen Hp terus?”
“Maaf, Beb. Nich ada sms dari temen, nanyain tugas dari Bapak Rahwan”, ucap Zahran dengan nada merayu. “Ayo, teruskan!”, pinta Zahran sambil lalu meneguk es kesukaannya, es jeruk.
Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
Dan pagi harinya ketika keduanya sarapan, mereka siap mendiskusikannya. “Aku akan mulai duluan ya, sayang?” kata sang istri bertanya pada suaminya. Lalu sang suami menjawab, “silahkan sayang…”. Sang istri lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman.
Ketika sang istri mulai membacakan satu persatu dari segala sesuatu yang tidak ia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa air mata suaminya mulai mengalir. “Maaf, apakah aku harus berhenti?” tanyanya. “Oh tidak, lanjutkan!” jawab suaminya.
Kemudian sang istri melanjutkan daftar yang telah ia tulis. Setelah usai membacakan daftar tersebut, dia kembali melipat kertasnya dengan manis di atas meja, dan berkata dengan perasaan lega dan bahagia, “sekarang gantian ya sayang, engkau yang membacakan daftarmu…”.
Dengan suara perlahan suaminya berkata, “Aku tidak mencatat sesuatu apapun di kertasku, aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Engkau patuh kepada Tuhanmu, Rasul Muhammad, orang tuamu, guru-gurumu dan suamimu. Tidak satupun dari pribadimu dapat aku tulis kekurangannya. Aku mencintaimu apa adanya, bukan karena kelebihanmu, dan akupun tak peduli kekuranganmu.
Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta dari suaminya. Ia tidak menyangka bahwa suaminya menerima dan mencintai apa adanya. Ia menunduk dan menangis seraya mengatakan, “Maafkan aku suamiku, maafkan aku suamiku!”.
***
Setelah Hilyah selesai bercerita, suasana menjadi hening… “Lah, kenapa kamu kok nangis, Beb?”, tanya Zahran penasaran ketika ia mendengar tangis isak dari seorang cewek di hadapannya itu.
“Nggak ada apa-apa kok, Mas”, suara serak yang keluar dari bibir manis seorang cewek berparas indah dan berkulit putih itu.
“Jangan gitu lah, Beb. Ku dah anggap kamu adikku sendiri. Jadi, cerita dong kalo’ ada masalah”, Zahran mendesak Hilyah untuk menjawab rasa penasarannya.
“Sebenarnya itu cerita aku sama suamiku, Mas. Aku rasa hanya kepada Mas lah tempat pengaduanku. Hanya Mas lah yang pantas tahu tentang ini, biar tidak terus-menerus menjadi beban yang mengendap di hatiku, Mas.”
“Hemmm, sudah aku duga kalo’ ini kisahmu. Udahlah, jangan dijadikan beban lagi. Sekarang kamu sudah cerita ke aku. Jadi, sekarang kamu harus bertingkah yang baik, mencintai suamimu dengan tulus, dan jadilah istri yang sholehah, yang diidam-idamkan setiap suami. Biar kamu bisa hidup bersamanya selamanya, di dunia dan di akhirat kelak”.
Hati Zahran tersentuh mendengar kisah nyata tentang seorang yang telah ia anggap adiknya sendiri. Bagaimanapun kasar, gagah, dan berototnya seorang laki-laki, tapi perasaaanya akan tersentuh pula ketika mendengarkan kisah demikian. Terlebih ia berpikir seandainya kisah itu terjadi padanya. Zahran bergumam dalam hatinya, “Jadi, mencintai seseorang haruslah apa adanya, bukan karena ada apanya”. [FM]