Jarum jam menunjukkan pukul 00.00 dini hari, suara terompet terdengar melengking disetiap sudut kota. Warna-warni kembang api di langit bersinar menghiasi gemerlap malam. Detik-detik menjelang pergantian tahun yang dinanti disambut dengan kemegahan dan kemeriahan yang mempesona. Jutaan umat manusia di berbagai tempat tumpah ruah membaur menikmati pergantian tahun.
Tidak hanya itu, perayaan tahun baru juga dirayakan dengan pawai berkeliling kota menggunakan mobil dan sepeda motor. Tempat-tempat hiburan dipadati oleh para pengunjung, konser-konser musik dangdut serta kesenian tradisional menjamur di mana-mana. Jalan-jalan protokol macet total oleh para pengguna jalan.
Ingar-bingar perayaan 1 Januari merupakan perayaan yang saban tahun kita temukan, termasuk di Indonesia. Walaupun penduduk Indonesia sembilan puluh persen adalah muslim, tapi kalau urusan pesta tahun baru, mereka tidak mau dinomor duakan. Buktinya, mereka tidak pernah mengenal kata lelah dan letih untuk terus berpacu merayakan tahun baru yang sudah pasti termasuk ‘karya’ non-muslim ini.
Sikap latah masyarakat muslim dalam merayakan tahun baru merupakan salah satu dampak kontak budaya dan pola interaksi yang terjalin antara kaum muslimin dengan non-muslim. Sehingga tidak heran kalau kemudian saat ini perayaan tahun baru telah menjadi budaya nasional yang bisa dirayakan oleh semua pihak, terbuka untuk umum tanpa memandang status agama.
Walaupun demikian faktanya, tidak sedikit orang yang antipati dengan pesta tahun baru ini. Mereka beranggapan bahwa orang muslim memiliki tahun baru sendiri yang layak untuk dimeriahkan dan dirayakan. Ekstrimnya lagi, dalam diri mereka ada keyakinan bahwa ikut merayakan tahun baru masehi yang nota benenya adalah budaya orang kafir dianggapnya sebuah tindakan yang menyebabkan kepada kekufuran.
Melihat fenomena pesta tahun baru ini, menarik untuk dikaji dari sudut pandang fiqh. Apa benar Islam memberikan kebebasan kepada para pemeluknya untuk merayakan tahun baru masehi? Ataukah Islam sedikitpun tidak memberikan kesempatan pada pemeluknya untuk merayakan tahun baru masehi karena dianggap tasyabbuh (meniru/menyerupai) non-muslim? Lantas seperti apa tasyabbuh yang diharamkan?
Permasalahan tasyabbuh dengan non-muslim adalah persoalan yang cukup kompleks. Persoalan ini mencakup banyak aspek dari kehidupan, seperti adat, kebudayaan, ibadah, atau aktifitas lainnya. Bentuk konkritnya, semisal meniru dalam merayakan ulang tahun, merayakan valentine, menggunakan mobil, dan bentuk-bentuk yang lain. Tasyabbuh ini juga bisa diartikan sebagai latah yang disebabkan oleh interaksi antara muslim dan non-muslim.
Dalam Islam, sikap latah terhadap non-muslim adalah sesuatu yang cukup krusial dan fundamental (mendasar). Sekitar empat belas abad yang lalu, Nabi telah memberikan peringatan kepada umatnya bahwa dalam diri mereka ada kecondongan untuk senang meniru non-muslim. Beliau bersabda :
لَتَتْبَعنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ: فَمَنْ
“Sungguh kalian betul-betul akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga, andaikata mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan mengikutinya,” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka (yang diikuti/ditiru) adalah orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab, “(Ya), siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR. Imam Bukhāri)[1]
Hadist ini sekalipun hanya tergolong khabar (berita), tapi mengandung makna celaan. Artinya nabi tidak menginginkan umatnya untuk menyerupai non-muslim. Sehingga tidak heran kiranya jika pada tataran yang sederhana saja—seperti dalam urusan kumis—kita harus berbeda dengan non-muslim. Dalam sebuah riwayat, nabi bersabda[2]:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللّحَىَ
“Tampil bedalah kalian semua terhadap orang-orang musyrik. guntinglah kumis kalian, dan biarkan jenggot kalian” (HR. Imam Muslim)
Hadits ini disampaikan oleh nabi karena pada saat itu orang-orang majusi senang memelihara kumis dan memotong jenggotnya. Sehingga orang muslim diperintahkan untuk berbeda dengan kaum majusi.[3] Dari redaksi hadits inilah, lalu para ulama menetapkan kewajiban mencukur kumis bukan mencabutnya[4]. Dalam hadits lain nabi melarang tasyabbuh dalam hal pakaian. Ketika itu nabi bersabda kepada Abdullah bin Amr ketika ia menggunakan dua buah pakaian yang diwarnai,
إِنَّ هَذِهِ ثِيَابُ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا
“Sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakaianya” (HR. Imam Muslim)[5]
Selain hadits di atas yang secara tegas menjelaskan aspek-aspek tasyabbuhnya, dalam beberapa hadits lain juga dijelaskan tasyabbuh, baik dalam konteks umum atau khusus. Misalnya hadits berikut ini yang dijadikan landasan utama dalam larangan tasyabbuh,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Bararang siapa meniru suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka” (HR. Abi Daud)[6]
Sepintas, hadits ini melarang kepada kita untuk meniru kebiasaan non-muslim. Meniru kebiasaan mereka, berarti sama dengan mereka. Namun secara redaksional, hadits ini masih terlalu umum, mencakup seluruh persoalan manusia. Kalau redaksi teks hadits ini diberlakukan secara umum mencakup seluruh lini kehidupan, maka ruang gerak kehidupan kaum muslimin akan sempit dan secara otomatis akan bertentangan dengan prinsip dasar syari’at yang berorientasi terhadap kemashlahatan. Misalnya akan lahir larangan menggunakan komputer, HP, Mobil dan alat elektronik lainnya sebab penemu dan pengguna pertama dari alat-alat tersebut adalah non- muslim. Berarti kalau kita juga menggunakan berarti termasuk tasyabbuh?
Oleh sebab itu, cakupan hadits ini perlu untuk dibatasi (tahsīs/taqyīd). Dalam masalah pembatasan hadits ini banyak para ulama yang berkomentar. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa tasyabbuh yang diharamkan adalah ketika tasyabbuh pada hal yang menjadi ciri khas non-muslim, baik berupa adat istiadat maupun ibadah. Hal ini salah satunya disampaikan oleh Jamil bin habib al-Luwaihiq di dalam kitabnya “Tasyabbuh al-Manhiy ‘anhu fī Fiqh Islamy”. Secara khusus beliau mengatakan bahwa bisa disebut tasyabbuh pada non-muslim kalau perbuatan yang ditiru adalah sesuatu yang menjadi ciri khas dari agama atau adat mereka. Dengan bahasa lain, perbuatan tersebut sudah mejadi syi’ar bagi mereka, baik berupa ibadah atau adat. [7]
Dengan demikian, nash-nash hadits yang menunjukkan larangan tasyabbuh pada non-muslim disebabkan perbuatan itu secara khusus dilakukan oleh non-muslim. Berarti, jika sebab itu hilang, maka ketidakbolehan akan menjadi hilang pula. Dalam arti jika perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang sudah lumrah dilakukan bersama serta tidak pernah menjadi kekhususan non-muslim, maka boleh dilakukan. Tentunya selama perbuatan itu sendiri bukanlah perbuatan yang memang pada dasarnya diharamkan. Seperti menggunakan bejana dari emas[8].
Selain itu, menurut Jamil Bin Habib al-Luwaihiq, pada hakikatnya yang disebut tasyabbuh adalah apabila ada maksud meniru. Walaupun demikian, ketika tidak disertai niat, seseorang lebih baik tidak melakukannya sebagai tindakan preventif (syaddudz dzari’ah) agar perbuatan tersebut tidak mengantarkan kepada tasyabuh yang dilarang. Bahkan ketika disertai niat, bukan saja diharamkan, melainkan akan menyebabkan sang pelaku tasyabbuh menjadi kafir. Pendapat ini mengikuti pendapatnya Ibnu Taimiyyah. [9] Lantas bagaimana dengan merayakan tahun baru masehi? apakah masuk pada kategori tasyabbuh yang dilarang?
Untuk menjawab persoalan ini, kita harus tahu terlebih dahulu hakikat dari tahun baru masehi. Konon ceritanya tahun baru masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti kalender tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar kalender baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam kalender baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus[10].
Dari cerita singkat di atas dan merujuk dari beberapa informasi menyatakan bahwa perayaan tahun baru sudah lama menjadi sebuah tradisi yang tidak ada kaitannya dengan perayaan ritual keagamaan. Tidak ada referensi tegas yang menyatakan bahwa tahun baru 1 Januari menjadi perayaan ritual keagamaan non-muslim. Oleh sebab itu, hukum merayakan tahun baru ditafsil (dirinci). Pertama, dihukumi kafir apabila perayaan tersebut disertai tujuan menyamai (tasyabbuh) orang kafir dalam menyiarkan kekafirannya.
Kedua dihukumi berdosa akan tetapi tidak sampai kafir apabila perayaan tersebut disertai tujuantasyabbuh dengan orang kafir dan tidak ada maksud menyiarkan kekafirannya. Ketiga, merayakan tahun masehi tidak kafir dan tidak berdosa apabila perayaan yang dilakukan sekedar ikut-ikutan tanpa tujuan sebagaimana keterangan di atas[11]. Namun dihukumi makruh, sebagai upaya tindakan preventif agar tidak terjerumus terhadap persoalan yang lebih besar.
Pembaca sekalian, terlepas dari halal-haram perayaan tahun baru masehi. Satu yang harus diingat bahwa marilah kita menjadi diri kita sendiri. Orang Islam harus bangga dengan identitas keislamannya. Bukankah Islam memiliki tahun baru hijriah yang layak untuk diapreasiaisi? kalau bukan orang muslim sendiri yang harus demikian, lantas siapa lagi? afalatatafakkarun
[1] Imam Bukhori, Shohīh Bukhāri, hal.103, Juz IX
[2] Imam Muslim, Shohīh Muslim (Dar al-Kutub al-Ilmiyah ), hal. 131, juz I
[3] Mausū’ah Fiqhiyah, 224/37
[4] Sulaiman bin Muhammad, ‘Umdatul Ahkam, Hal.49/IV
[5] Imam Muslim, Op.Cit. hal. 267
[6] Subulussalām, Hal.107, Juz VII
[7] Ibid.,Hal.90
[8] Ibid.,Hal.96
[9] Ibid.,Hal.85
[10] Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama [on line pada tanggal 20 Desember 2012]
[11] Fatāwā al-Kubra al-Fiqhhiyah, hal 238-239, Juz IV