Maklumat Kebangsaan Ulama-Cendekiawan di Jakarta

1
483

Sarasehan nasional ulama dan cendekiawan yang diprakarsai Rais Syuriyah PBNU KH Hasyim Muzadi di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Cilandak, Jakarta Selatan, 2-3 April 2014, melahirkan tujuh “maklumat kebangsaan”. Berikut adalah butir-butir lengkapnya: 

1. Pancasila:

Kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara pada dekade belakangan ini terasa telah menjauh dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, jalan hidup bangsa (way of life), pemersatu bangsa, sumber hukum dan ideologi negara.Bahkan mulai ada yang menyangsikan efektifitas Pancasila sebagai dasar negara.

a. Ketuhanan Yang Maha Esa pelan tapi pasti telah bergeser menuju pandangan hidup materialistik dan pragmatis sehingga kekuasaan materi menggusur tata nilai spiritualisme di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menggoyahkan  makna hakiki dari sektor-sektor kehidupan bangsa:  ekonomi yang kehilangan prinsip pemerataan dan keberkahan, hukum yang terpisah dengan prinsip keadilan, politik kehilangan kejujuran dan amanat, pendidikan yang kehilangan pembentukan karakter bangsa, budaya kehilangan martabat kebangsaan dan bahkan agama pun mengalami pendangkalan.

b. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang seharusnya merupakan titik temu agama-agama di Indonesia dan merupakan ketinggian harkat dan martabat bangsa telah dikotori dengan berbagai macam kekejaman, konflik, egoisme, kemunafikan dan kepalsuan.

c. Persatuan Indonesia, secara idelogis, sosiologis, geografis, telah dibayang-bayangi perpecahan yang semakin hari semakin nampak kenyataannya.

d. Prinsip dan nilai kerakyatan yang  merupakan inti dari demokrasi Pancasila belum  bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi yang kita anut saat ini  karena kurang sesuainya sistem demokrasi liberal bagi budaya Indonesia dan kurangnya pendidikan politik bangsa (civic education).  Sedangkan kepemimpinan untukpenyelenggaran negara dalamsistem demokrasi saat ini belum sepenuhnya menganut prinsip hikmah dalam kebijaksanaan. Terbukti banyaknya kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Disamping itu, prinsip musyawarah mufakat telah berganti dengan demonstrasi dan politik tekanan (political pressure) sehingga rawan konflik dan sangat melelahkan.

e. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sesungguhnya merupakan muara dan hasil dari prinsip-prinsip sila sebelumnya. Apabila sila-sila sebelumnya tidak mengalir secara wajar maka tidak akan sampai ke muara keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sistem dan Penyelenggaraan Negara

Disadari bahwa prinsip, ideologi, dan tata nilai yang ada di dalam Pancasila tidak mungkin diharapkan tegak dengan sendirinya tanpa sistem dan penyelenggaraan negara yang menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip tersebut baik dalam konstitusi, aturan perundangan, peraturan pemerintah dan  pelaksanaan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Karena itu, antara Pancasila dan UUD 1945, aturan perundangan dalam Undang-undang serta peraturan dan kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat haruslah berada dalam satu garis yang bersambungan dan utuh (integrated system). Maka yang diperlukan adalah penelusuran kembali apakah sistem dan penyelenggaraan negara sudah segaris dan sejalan dengan Pancasila.Sejalan dengan ini, para penyelenggara negara adalah pelaksana sistem kenegaraan itu sendiri sehingga ada hubungan timbal balik antara keduanya maka perlu optimalisasi kerja penyelenggara negara dan pada saat yang sama memperbaiki sistem kenegaraan.

3. Politik dan Partai Politik

Politik berasal dari sesuatu yang mulia dan agama sendiri memuliakan politik. Pada hakekatnya politik adalah penataan masyarakat negara untuk mencapai tujuan kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Politik akan mulia di tangan orang mulia  dan juga dilakukan dengan cara yang mulia. Sebagaimana di dalam perjalanan sejarah Indonesia rakyat memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada politisi/negarawan di awal kemerdekaan Republik Indonesia karena mereka melaksanakan fatsoen politik yang mulia. Kalau kemudian politik kehilangan kemuliaannya tentu hal ini karena cara berpolitik serta pelaku politik yang tidak mampu menjamin kemuliaan gerakan politik itu sendiri. Cara-cara yang pragmatis transaksional tentu akan merendahkan makna politik dan mengurangi kepercayaan publik terhadap para politisi.

Sebenarnya di alam reformasi dan demokrasi dewasa ini partai-partai politik mendapatkan anugerah Allah yang luar biasa. Partai-partai politik menempati peranan sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Parlemen yang mempunyai kekuasaan sangat besar baik di bidang perundangan (legislasi), penganggaran (budgeting), dan pengawasan (controling) sepenuhnya diisi oleh partai-partai politik secara dominan. Bahkan belakangan ini eksekutif pun diisi oleh personil yang diajukan oleh partai politik termasuk lembaga ad hoc dan pejabat negara juga dipilih oleh parlemen  sehingga partai politik tidak hanya menguasai parlemen tetapi juga mengambil kavling dalam kekuasaan eksekutif di tingkat pusat dan daerah.Akibatnya, sistem kabinet kita yang presidentil menjadi terasa parlementer karena kementerian-kementerian terkavling partai-partai politik.

Sekarang terpulang  kepada partai-partai politik itu sendiri, apakah mereka mensyukuri anugerah luar biasa dari Allah SWT tersebut dengan mengabdi kepada bangsa dan negara melalui sifat jujur, amanat, visioner, dan kopentensi (shiddiq, amanat, tabligh, fathonah) ataukah sebaliknya, sehingga terus terjadi jarak antara rakyat dan pemimpin yang dipilih dari rakyat. Sehingga dengan demikian terlihat tanggung jawab yang sangat besar menyertai anugerah Allah SWT tentang baik buruknya negara ini di tangan partai-partai politik.

4. Partai Politik Islam

Banyak keluhan di kalangan masyarakat luas bahwa elektabilitas partai-partai Islam atau yang berbasis umat Islam cenderung menurun dari waktu ke waktu. Kenyataan ini kadang merembet dengan asumsi menyalahkan Islam sebagai agama. Padahal Islam sebagai agama yang benar (dinulhaq) tidak akan luntur kebenarannya sepanjang zaman. Kalau kemudian partai Islam menurun maka hal itu bukan karena kesalahan Islam sebagai agama, tetapi  karena keterbatasan partai berbasis Islam untuk menampilkan keluhuran nilai ajaran Islam itu sendiri dalam bidang politik. Untuk mengatasinya, harus ada upaya sungguh-sungguh agar pelaksana politik Islam menunjukkan keluhuran nilai Islam itu sendiri dalam prilaku politik. Partai berbasis Islam tidak cukup hanya menampilkan simbolisme Islam tapi harus bekerja keras untuk keadilan, kemakmuran, kemanusiaan, dan kesetaraan di dalam masyarakat luas sebagai realisasi Islam rahmatan lil alamin.

5. Kembalikan Indonesia untuk Indonesia

Kenyataan menunjukkan bahwa banyak kebijakan yang dihasilkan dalam bentuk Undang-undang yang berujung pada judicial review untuk membatalkan undang-undang itu karena tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan dalam tingkat tertentu Undang-Undang ini tidak berpihak kepada kepentingan Indonesia dan justeru berpihak pada kepentingan asing seperti undang-undang pertambangan,energi,air  dan pertanahan dan lain-lain. Bentuk kebijakan yang merugikan ini adalah produk dari kepemimpinan nasional yang terdiri dari kepala negara (eksekutif) dan anggota legislatif yang dihasilkan dari proses pemilu sebelumnya  yang menelan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, siapapun pemimpin dan anggota legislatif yang dihasilkan oleh pemilu yang akan datang  harus mampu menghasilkan produk kebijakan yang berpihak pada kepentingan bangsa Indonesia. Jika tidak, maka bangsa Indonesia akan terjebak pada siklus kehancuran untuk lima tahun yang akan datang. Untuk dapat membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan bangsa Indonesia memang tidak mudah karena proses untuk menghasilkan pemimpin dan anggota legislatif ini belum mampu menjamin lahirnya sosok pemimpin yang berpihak pada kepentingan bangsa. Karena itu baik presiden maupun parlemen harus bersatu dalam kepentingan nasional sekalipun berawal dari visi yang tidak sama.

6. Wilayah Kepartaian dan Wilayah Kenegaraan

Dominasi partai politik dalam kekuasaan yang terjadi selama ini berakibat padakaburnya antara wilayah kepartaian dan wilayah penyelenggaraan negara. Kader-kader parpol yang terpilih menjadi penyelenggara negara lebih sering tampil mewakili parpol masing-masing ketimbang menjadi penyelenggara negara yang seharusnya melayani kepentingan semua warga bangsa.  Dalam kondisi seperti ini sering terjadi kerancuan apakah para pejabat dari partai politik ini mewakili kepentingan partainya atau mewakili kepentingan bangsa yang lebih luas. Karena itu, diperlukan peraturan perundangan yang mengatur pembagian tugas yang jelas antara wilayah kepartaian dan wilayah penyelenggara kenegaraan.Dengan demikian, jika seorang kader partai memegang jabatan sebagai penyelenggara negara maka dia harus menanggalkan baju kepartaiannya dengan mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa yang lebih luas.

7. Mengembalikan Ulama kembali kepada moral ulama

Dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa ulama selalu tampil dalam menyelesaikan problem-problem yang mengiringi kehidupan bangsa dan bernegara. Dalam kondisi carut marut kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini ulama hendaknya tetap kokoh berpegang  pada  moral ulama sebagai tonggak dan panutan umat dan tidak larut dalam suasana pragmatisme sesaat.Untuk menjadi panutan umat di tengah kegoncangan seperti ini ulama harus tetap berpegang pada moral ulama dan memiliki informasi yang cukup tentang kondisi yang terjadi dewasa ini.

Demikianlah semoga Allah memberikan perlindungan dan maunah Nya kepada kita dan akan dilanjutkan dengan maklumat kebangsaan serupa.

Jakarta, 3 April 2014

Penanggung Jawab: KH A Hasyim Muzadi

Tim Perumus: KH Abdurrahman Nafis (Jawa Timur), KH. Sofyan ( Jawa Barat), KH. Dr. Fadlalan Musaffa’ (Jawa Tengah), KH. Dr. Cholil Nafis (Jakarta), Dr. H. Rahmat Hidayat (Jakarta), Dr. Arif Zamhari (Jakarta)

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan