Setidaknya ada tiga jenis ujian yang selama ini dikenal lebih populer, yaitu ujian sekolah, ujian nasional, dan ujian dalam kehidupan. Sebenarnya, masih banyak lagi jenis ujian lainnya, seperti ujian menjadi PNS, ujian kenaikan pangkat, ujian mendapatkan surat ijin mengemudi, dan lain-lain.
Ujian sekolah tidak banyak mendapatkan perhatian, oleh karena dianggap sebagai sesuatu yang rutin dan biasa. Hal itu tidak sama dengan ujian nasional. Sekarang ini, orang membicarakannya, karena pada hari ini misalnya, sekitar 2, 7 juta siswa SMA dan yang sederajad di seluruh Indonesia mengikuti ujian nasional. Sebenarnya, ujian nasional adalah merupakan hal biasa dan rutin, namun oleh karena, masih ada pro dan kontra terhadap kebijakan itu, maka setiap tahun, ujian tersebut menjadi pembicaraan luas.
Selain itu, ujian nasional seolah-olah menjadi sesuatu yang istimewa. Hal itu dikarenakan, sesuatu yang semestinya biasa dan rutin itu selalu dilihat secara berlebih-lebihan, baik oleh pemerintah, pihak sekolah, dan bahkan juga masyarakat sendiri. Pemerintah lewat menteri pendidikan dan kebudayaan selalu meyakinkan betapa pentingnya kegiatan itu, di antaranya untuk melihat peta kualitas pembelajaran dan pendidikan secara keseluruhan, serta ada keinginan agar hasilnya bisa dijadikan dasar penerimaan mahasiswa baru bagi PTN.
Perhatian masyarakat terhadap ujian nasional sedemikian besar, oleh karena perhatian pemerintah juga terlalu berlebih-lebihan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah seharusnya lebih tepat untuk memperhatikan pada persoalan guru. Sebab gurulah penentu kualitas pendidikan. Perhatian terhadap guru bisa menyangkut misalnya terkait kesejahteraan, peningkatan kualitas keilmuan, dan profesionalnya. Hal tersebut jauh lebih penting dibanding sekedar pelaksanaan ujian para siswanya. Perhatian yang berlebih-lebihan terhadap ujian nasional menjadikan ujian sebagai segala-galanya.
Pemerintah tampak terlalu berlebih-lebihan dalam menyikapi ujian nasional, misalnya, dari sekedar pengamanan soal ujian harus melibatkan polisi, pengawasannya melibatkan dosen perguruan tinggi, dan bahkan siswa yang akan buang air kecil saja harus mendapatkan pengawasan. Kebijakan yang berlebih-lebihan seperti itu, hingga menyedot perhatian masyarakat luas. Bahkan ada sekolah yang merasa harus mengarantina siswanya, dan lebih dari itu mengajak siswanya berziarah kubur, istighasah, doa bersama, dan lain-lain agar semua siswanya lulus. Hal yang semestinya biasa dan rutin, akhirnya menjadi sesuatu yang luar biasa. Akibatnya, tidak sedikit anak-anak yang menjadi takut karena ujian, padahal maksud diselenggarakan pendidikan itu sendiri, di antaranya adalah, agar anak-anak hilang rasa takutnya.
Padahal, umpama ujian nasional itu diserahkan saja kepada masing-masing lembaga pendidikan yang bersangkutan, maka kegiatan itu akan sekaligus memberi kesempatan kepada sekolah untuk menjadi pihak yang bisa dipercaya, ujian akan menjadi sesuatu yang biasa, rutin, dan biayanya pun akan menjadi tidak terlalu besar. Dengan kepercayaan itu, maka pihak sekolah akan merasa dihargai, diakui, dihormati, dan mereka akan lebih bertanggung jawab. Manakala kebijakan seperti sekarang ini yang dijalankan, maka seolah-olah sekolah sudah tidak terlalu dipercaya lagi, kecuali dalam mengajarnya. Padahal dalam pendidikan, mengajar sebenarnya justru jauh lebih penting dari sekedar ujian. Dan ketika mengajar, guru ternyata tidak perlu ditunggui polisi atau dosen dari perguruan tinggi.
Semestinya, menghadapi kehidupan yang semakin modern, dan perubahan semakin cepat dan bahkan radikal seperti ini, kebijakan pendidikan harus menyesuaikannya. Kebijakan pendidikan tidak boleh tertinggal dari laju kecepatan perubahan masyarakat. Kehidupan mendatang tidak cukup hanya berbekalkan pengetahuan yang dipelajari dalam buku teks, tetapi yang lebih penting dari itu adalah kemampuan melihat dalam pengertian luas dan kemampuan mencipta sesuatu yang baru. Dua kemampuan, ——membaca dan mencipta, itulah yang menentukan lulus atau tidaknya ujian kehidupan yang sebenarnya.
Dua jenis kemampuan mendasar yang justru diperlukan di masa sekarang dan mendatang itu sangat tidak mungkin diketahui lewat ujian secara nasional. Untuk melihat kemampuan menghadapi kehidupan yang semakin cepat berubah, dan modern itu memerlukan jenis ujian tersendiri. Kemampuan membaca dan mencipta tidak akan bisa dilihat dari jawaban soal-soal ujian pilihan ganda seperti yang dijalankan sekarang ini. Oleh karena itu, manakala bentuk ujian nasional seperti yang sekarang dijalankan ini akan tetap dipertahankan, maka generasi mendatang harus siap untuk menjadi bangsa tertinggal secara terus menerus, dan selamanya. Wallahu a’lam.
Oleh: Imam Suprayogo