Sistem ritual dan sistem nilai selalu inheren di dalam setiap agama. Islam memiliki dua sistem tersebut dan menganggap keduanya sama-sama penting. Agama yang hanya dibangun di atas sistem ritual hanya akan menjadikan agama hampa dan semu. Sebab sistem nilai itulah yang pada hakikatnya akan menentramkan dan menunjukkan ‘jalan yang benar’ bagi pemeluk agama.
Haji merupakan salah satu sistem ritual dalam Islam dan menjadi rukun dalam Islam yang mengandung nilai-nilai. Pelaksanaan haji tanpa menyelami nilai-nilai haji hanya akan menjadikan haji sebagai tamasya biasa, sehingga tidak memberikan pengaruh apa-apa yang kuat sepulang haji kepada pelaku haji tersebut. Maka janganlah heran jika banyak orang yang sudah haji, tetapi masih melakukan korupsi, masih membuat keputusan yang tidak adil, masih suka mendhalimi dan lain-lain. Itu semua akibat dari tidak adanya penghayatan, transformasi dan kontekstualisasi terhadap nilai-nilai yang ada di dalam ritual haji.
Singkatnya, haji diharapkan dapat membekas di dalam jiwa pelakunya melalui upaya-upaya peresapan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalamnya. Tetapi, nilai-nilai yang diresapi itu juga bisa melahirkan dampak positif dalam bentuk hasil nyata yang diaktualisasikan ke dalam bentuk amaliah positif kehidupan nyata.
Sebab, kata Farid Esack dalam On Being a Muslim, di dalam haji (perjalanan ke Makkah), terdapat pertemuan akar umat Islam yakni akar geneologis, akar religius dan akar spiritual. Akar geneologis karena Adam dan Hawa bertemu di padang Arafah, yang terletak di Makah, setelah perpisahan mereka dengan surga. Akar religius karena Gua Hira, tempat pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu, merupakan aspek fisik permulaan Islam sebagai agama. Dan terakhir akar spiritual karena Ka’bah merupakan simbol kehadiran Allah.
Hampir setiap jenis ritual memuat simbol-simbol, begitu juga dengan ibadah haji. Untuk menyelami dan menghayati nilai-nilai haji, pelaku haji mau tidak mau harus mampu menyingkap makna di balik simbol-simbol haji. Di antara simbol-simbol haji yang perlu dimaknai, paling tidak, adalah ka’bah, ihram, sa’i, dan wukuf di ‘Arafah.
Ihram adalah menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan lembaran kain putih tak berjahit. Menanggalkan pakaian biasa berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Tak heran jika Gus Mus—panggilan akrab KH. Mustofa Bisri—seringmenyebut haji sebagai gladi resik kematian.
Apa sebenarnya makna pakaian ihram warna putih itu? Para pelaku haji (hujjaj) adalah tamu-tamu Allah (duyufullah). Meraka mendatangi baitullah (Rumah Allah) dengan berpakaian putih. Putih adalah simbol kesucian yang utuh. Oleh karena itu, menghadap kepada-Nya harus dilandasi kesucian hati dan niat, sehingga tidak ada tendensi apapun kecuali hanya memenuhi panggilan Allah. Semua hujjah diharuskan menggunakan pakaian ihram yang berwarna putih. Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, tama-tamu itu diperlakukan sama, tidak ada perbedaan. Semuanya berpakaian putih, kaya-miskin, tua-muda, semuanya berstatus sama.
Di dalam berpakaian ihram, hujjaj pun dikenai peraturan yang ketat, misalnya, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memotong atau mencabut tanam-tanaman, tidak boleh menggunakan parfum, tidak boleh bersetubuh, tidak boleh melakukan kekerasan dan lain-lain. Larangan-larangan itu pada hakikatnya mengajarkan hujjaj tentang pembatasan konsumsi, pengekangan hawa nafsu dan menjauhi tamak. Sebab kata ihram itu sendiri memiliki makna batas, larangan atau tabu.
Sa’i, atau lari-lari kecil di antara bukti Safa dan Marwa merupakan dinamika hidup, yakni sebuah usaha tak kenal lelah demi mempertahankan hidup, sebagaimana Hajar ketika kehausan dan tidak menemukan adanya tanda-tanda air di sekitarnya. Dia tidak hanya duduk diam menunggu mukjizat datang, namun dia berlari-lari dari bukit Safa ke Marwa hingga akhirnya mendapatkan sumber mata air.
Sa’i dilakukan secara bolak-balik hingga tujuh kali dimulai dari bukit Safa—Safa artinya cinta kasih kepada sesama—dan diakhiri di bukit Marwa (Muruwwah), yang berarti bentuk ideal kemanusiaan. Sehingga pada hakikatnya Sa’i mengajarkan manusia untuk mencintai dan menyayangi sesama hingga muncullah kedamaian kemanusiaan yang ideal.
Simbol penting lainnya adalah wukuf di Arafah. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Syariati, pada saat di padang Arafah (wukuf), semua orang berkumpul melepaskan atribut-atribut dan status sosial yang disandang. Semuanya dibungkus dengan kain putih yang sama dan di tempat yang sama pula berbaur satu sama lain melakukan penyembahan pada Allah Yang Mahaesa. Tidak ada perbedaan sama sekali. Yang ada, persamaan dari sisi kemanusiaan, persaudaraan, rasa solidaritas, dan kepekaan yang tinggi terhadap sesama.
Di Arafah, hujjaj dianjurkan untuk berdoa seharian penuh pada hari ke sembilan bulan Dzulhijjah. Arafah berarti pengetahuan (ma’rifah). Saat wukuf di Arafah adalah saat musyahadah atauma’rifah, yakni suatu kondisi keimanan yang sempurna dan kehangatan cinta yang membara kepada-Nya. Dengan keterbakaran cinta, Hujjaj akan mengalami fana‘ (lebur dirinya dan hilang sama sekali) sehingga tidak ada yang disaksikannya kecuali siapa yang dicintainya. Hujjaj akan iri kepada segala sesuatu, walaupun kepada matanya sendiri. Berangkat menuju Arafah berarti berangkat menuju keasyikan berdialog dengan Allah. Di sinilah komunikasi terbangun antarahujjah dan Allah sehingga hujjaj bisa mengetahui ‘kehendak-kehendak’ Allah yang kemudian dijalankan di muka bumi.
Itulah sebagian dari simbol-simbol haji yang penting untuk dikuak maknanya (kontekstualisasi). Islam bukanlah agama ritual belaka tetapi Islam adalah agama keimanan, yang memiliki nilai-nilai pengabdian dan amal. Nilai-nilai pengabdian dan amal yang diambilkan dari pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut harus diekspresikan dalam konteks bermasyarakat di mana setiap individu terlibat di dalamnya.
Apabila para hujjaj—yang jumlahnya ratusan ribu dalam setiap tahun–mampu melakukan hal ini, kiranya akan lahirlah reformis-reformis sejati yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk menegakkan ‘kehendak’ Tuhan di muka bumi. Bukankah kata mabrur—berasal dari akar kata birr—adalah pangkat bagi pencapaian puncak kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia dan Tuhan?
* penulis adalah Anggota DPR RI
Sumber : NU Online