Ilmu dunia memang berbeda dengan ilmu agama, baik dari sisi ruang lingkup materi pengajaran dan praktek pengamalan. Jika materi yang diajarkan dalam ilmu dunia berkaitan dengan segala macam pembelajaran yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup maka ilmu agama mengajarkan bagaimana agar manusia dapat menjalani prosesi ibadahnya dengan benar sesuai standar hukum syariat.
Sekilas memang hal ini nampak sangat berbeda, maka tak heran jika masih saja banyak umat islam yang berpikir sekuler dengan memisahkan antara pengajaran ilmu dunia dengan ilmu agama. Anak-anak yang menuntut ilmu di pesantren dianggap sebagai calon-calon generasi yang kolot, minim pengetahuan dan tidak tahu perkembangan teknologi. Sedangkan anak-anak yang belajar di bangku sekolah umum diidentikkan dengan sosok yang jauh dari akhlak mulia serta sedikit pengamalan ibadah meski memiliki cukup pengetahuan.
Namun, sebagai seorang muslim disadari atau tidak sejatinya pemikiran semacam ini jelas merupakan pemikiran yang salah. Sebab, Islam sendiri tak pernah mengajarkan untuk berpikir, berprinsip bahkan menjalani kehidupan yang sekuler. Karena sejatinya sekulerisme adalah konsep di luar islam yang lalu dipakai dalam islam, padahal konsep ini kurang tepat. Sebab dalam konsep sekulerisme agama harus dipisahkan dari amalan dunia sehari-hari.
Bagi konsep sekulerisme aturan agama hanya boleh dilakukan dalam ranah individu. Itu pun jika individu tersebut mau untuk melakukannya, jika tidak maka tak ada beban hukuman apa pun yang akan menghentikan mereka. Sehingga mempelajari ilmu agama bukanlah sebuah kewajiban alias sampingan semata. Karenanya wajar dalam kehidupan sekuler orang yang berpendidikan umum hanya memiliki sedikit pengetahuan agama, sehingga mereka terlihat kaku ketika menjalankan hukum-hukum Allah. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang fokus mempelajari agama akan nampak kolot dan tidak tahu apa-apa ketika ditanya tentang ilmu pengetahuan duniawi.
Sedangkan islam sangat berbeda. Konsep kehidupan islam ditegakkan di atas tiga pilar, yakni pilar ketakwaan individu(hablu min nafsihi), ketakwaan kolektif atau masyarakat(hablu min annas), dan ketakwaan pada Tuhan(hablu min allah). Dari tiga pilar ketakwaan yang harus dipenuhi ini, pendidikan islam tidak mungkin dipisah-pisahkan antara pencapaian ilmu agama dengan ilmu dunia.
Maka sangat wajar jika umat islam dan pemerintahan islam pada masa lalu sangat berhati-hati dengan konsep sesat sekulerisme ini dan sama sekali tidak menggunakannya dalam semua aspek kehidupan mereka, termasuk pendidikan. Aturan kurikulum dibuat dengan tidak hanya memberikan durasi waktu 2 jam saja setiap minggunya untuk mempelajari ilmu agama seperti sekarang ini. Bahkan materi pengajaran yang diberikan tak hanya cukup dengan mengulang-ulang hal-hal yang bersifat ibadah mahdoh semata, tapi juga konsep syariat islam yang lainnya yang mungkin masih jarang diketahui secara umum.
Di dalam Al Qur’an sendiri, Allah telah berfirman “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”(TQS. Al Mujadilah : 11). Maka dari sini sudah jelas keimanan dan pengetahuan haruslah sejalan. Tak boleh terpisah. Seseorang yang telah memiliki pengetahuan agama haruslah melengkapinya dengan pengetahuan dunia, begitu juga sebaliknya.
Memang dari segi hukum islam/fiqih, menuntut ilmu dunia memiliki status hukum fardhu kifayah, sedangakan menuntut ilmu agama memiliki status fardhu ‘ain. Akan tetapi bukan berarti menuntut ilmu dunia harus disepelekan, lagi-lagi hanya karena alasan “suudzon” pada hal-hal yang bersifat duniawi.
Dari sini bisa dipahami penggabungan antara ilmu agama dan ilmu dunia adalah suatu kepastian atau kewajiban dalam islam. Dan umat islam pada masa lalu telah menyadari akan hal itu sehingga mereka tak hanya berhenti belajar di pesantren, namun juga melanjutkan hingga ke perguruan tinggi. Melakukan perbagai penelitian luar biasa yang masih digunakan hingga kini.
Jika kita telisik kembali ke masa lalu, para sahabat-sahabat rasul, pemikir dan ilmuwan-ilmuwan muslim kala itu merupakan sosok-sosok yang tepat yang bisa digunakan sebagai cermin hidup. Mereka mampu menggabungkan antara ilmu dunia dan ilmu agama dengan “takaran yang pas”. Ibnu sina misalnya, ilmuan muslim asal Bukhara, Ukraina yang hidup di abad pertengahan ini menguasai ilmu di bidang fisika, antropologi, astronomi dan bahkan telah dinobatkan sebagai bapak kedoteran dunia. Menariknya, semasa hidupnya beliau juga dikenal sebagai seorang ulama dan penasehat gubernur di Baghdad, Irak.
Adapun Abdurahman bin Auf adalah sosok sahabat rasul yang dikenal dermawan, kaya raya dan memiliki pengetahuan luar biasa dalam bidang bisnis. Hingga sampai-sampai pernah diriwayatkan andai saja Abdurahman membalikkan batu maka pasti ia akan menemukan emas dibawahnya. Namun, ternyata kelebihannya itu pun tak lantas membuatnya lupa untuk berjuang di jalan Allah swt. Beliau tercatat pernah menginfakkan 4000 dinar emas pada para mantan pejuang perang Badar, 5000 dinar emas untuk digunakan di jalan Allah dan ribuan kuda serta unta untuk keperluan jihad fisabilillah. Bahkan tak hanya itu, selain menginfakkan hartanya beliau juga berani untuk ikut serta dalam peperangan membela agama Allah.
Dari fakta-fakta sejarah yang ada tersebut, maka perlu ada sebuah evaluasi diri yang mendalam. Apakah cukup bagi kita hanya dengan merasa kagum terhadap sosok-sosok luar biasa tersebut? Tanpa adanya suatu usaha untuk merubah diri menjadi seperti mereka? Lebih parah lagi jika mungkin sampai terlintas dalam pikiran kita bahwa itu semua adalah takdir atau kelebihan yang hanya Allah anugerahkan kepada mereka. Sedangkan kita hanya orang-orang biasa yang tidak memiliki potensi apa pun.
Allah tentu saja bukanlah Dzat yang dholim terhadap hambaNya, justru para hambaNya inilah yang selalu lalai dalam mensyukuri nikmatNya. Sosok-sosok luar biasa itu ada karena mereka memahami makna sesungguhnya dari surah Ar Ra’du ayat 11 yang menegaskan bahwa pertolongan Allah akan turun hanya jika manusia itu mau untuk menunjukkan keseriusannya dalam berusaha di jalan Allah.
Seseorang yang mencintai ilmu pengetahuan, tak akan berhenti hanya dengan ketika telah mampu menguasai satu bidang, namun ia akan terus menerus mencari hal-hal yang belum ia ketahuai untuk diamalkan. Bukan hanya sekedar karena rasa keingintahuan.
Selanjutnya, cukupkah kita berdiam diri dengan kesalahan konsep hidup sekuler yang saat ini masih kita anut? Dan membiarkan konsep sesat lagi menyesatkan ini dijadikan landasan kurikulum pendidikan generasi kita? Berapa lama lagi kita akan bertahan dengan hasil buruk yang dicapai oleh pendidikan sekuler ini?
Dari hasil penelitaian Komnas perlindungan anak pada tahun 2007 saja tercatat 62 % remaja Indonesia mengaku sudah tidak perawan dan 97 % juga mengaku pernah menonton film porno. Jumlah tersebut dari tahun ke tahun tidak pernah menurun bahkan semakin bertambah yang pastinya akan membuat rasa kecewa yang lebih luar biasa lagi. Tentu sebagai orang yang normal dan memiliki kepedulian tak akan rela rasanya jika kondisi ini terus terjadi tanpa suatu solusi yang sistematis dan efektif yang akan menghentikan semuanya dengan tuntas. Maka, tepat rasanya apabila kita kembali mempelajari dan meniru apa yang sudah dicapai oleh kaum muslimin di masa lalu.
Dari fakta-fakta sejarah yang ada, semua keberhasilan kaum muslimin tak lepas dari keseriusan mereka untuk tetap teguh menjalankan hukum-hukum syariat islam dalam segala aspek kehidupan yang tegak di atas tiga pilar ketakwaan. Dalam ranah individu mereka terbiasa dididik dengan “dosis” keimanan yang tinggi dalam keluarga mereka. Sedangkan masyarakat juga turut mendukung dengan mengkondisikan lingkungan yang penuh ketakwaan dan suasana keimanan. Adapun negara juga tak mau berdiam diri. negara atau pemerintahan yang sedang berkuasa senantiasa memberikan peraturan-peraturan berkualitas iman yang diambil dari hukum-hukum syariat.
Aturan pendidikan dibuat sedemikian rupa sesuai dengan syariat islam. Seperti misalnya beban biaya pendidikan yang dalam islam seluruhnya harus ditanggung oleh pemerintah, maka dibuatlah undang-undang kala itu untuk membebaskan biaya pendidikan bagi para peserta didik hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan luar biasanya, seluruh penelitian yang dilakukan oleh para peserta didik ditanggung oleh negara.
Dari segi kurikulum pun dibuatlah konsep yang tak sekedar menguatkan pemahaman agama islam, namun juga pengayaan pengetahuan secara umum. Semua itu karena kesadaran mereka terhadap perintah Allah dalam al qur’an yang menyuruh manusia menggunakan akalnya dalam melihat fenomena alam untuk memahami kebesaran Allah swt.
Dengan adanya berbagai aturan tersebut maka, sudah dapat dipastikan masyarakat menjadi bersemangat menuntut ilmu tanpa merasa takut dihantui oleh biaya pendidikan yang mahal. Mereka pun menjadi maksimal menggunakan segala potensi mereka untuk mencari ilmu. Lalu, masih tunggu apa lagi? Bukti telah nyata di hadapan, sejarah tak akan bisa dipendam. Hanya islam yang bisa membentuk karakter luar biasa.
By: Mi’ratul Lailiyah
Img: arrahmah