Di saat umat Islam Indonesia berduka kehilangan sosok ulama dan dai yang bersahaja seperti dirinya, rupanya Habib Munzir Al Musawa justru tersenyum saat meninggal dunia. Demikian Habib Nabil Al Musawa mengungkapkan kondisi Habib Munzir saat berpulang ke rahmatullah.
“Beliau meninggal dalam keadaan tersenyum,” ujar kakak kandung Habib Munzir itu sambil menitikkan airmata di depan rumah duka, Jl Pancoran Indah I RT 08/04 Kompleks Liga Mas, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (16/9).
Tersenyum saat meninggal dunia mengingatkan kita pada jenazah para syuhada’. Misalnya dari foto-foto syuhada di Palestina, Mesir dan Suriah yang menunjukkan senyuman di wajah mereka. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, salah satu keistimewaan syuhada’ adalah diperlihatkan tempat tinggalnya di surga. Siapakah yang tidak bahagia ketika diperlihatkan bahwa tempat tinggalnya nanti adalah surga? Dan kebahagian pada saat menyongsong maut itu memancar dalam wajah dan mengembangkan bibirnya. Jadilah ia tersenyum.
Jika untuk para syuhada’ penjelasannya seperti itu, bagaimana dengan ulama dan para dai seperti Habib Munzir yang tidak meninggal dalam kondisi perang? Wallahu a’lam bish shawab. Bisa saja seseorang tidak meninggal dalam jihad qital fi sabilillah, tetapi ia menjadi syahid. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Barangsiapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan memberikannya meskipun ia mati di atas tempat tidur” (HR Muslim)
Maka kita berhusnudhan kepada seluruh muslim, terlebih para ulama dan da’inya yang berjuang membela agama Allah, ketika mereka meninggal dunia dalam kondisi beriman dan taat kepada Allah, mereka memperoleh husnul khatimah. Jika kemudian wajah mereka tampak bahagia atau senyum mengembang di bibir mereka saat meninggal dunia, barangkali itu adalah alamat atau tanda-tanda bahwa mereka bahagia berjumpa dengan Rabbnya.
Kembali mengenai Habib Munzir, sang kakak bercerita mengenai kesungguhan beliau dalam mendakwahi umat. Bahkan, sakit pun tak dirasa demi perjuangan agar umat mengikuti jejak Rasulullah. Dan karenanyalah, majlis taklimya diberi nama Majelis Rasulullah.
“Dalam keadaan pakai kursi roda beliau mengisi acara, bahkan pakai tempat tidur, beliau tetap ngisi. Penyakit beliau banyak, di kepala, tulang belakang, asma. Bahkan sampai ada cairan di perut, tapi alhamdulillah sudah berhenti.”
Tidak hanya melakukan amar ma’ruf, Habib Munzir juga mengingatkan umat Islam dari bahaya Syiah yang suka mencaci sahabat. Padahal, Ali beserta putranya, Hasan dan Husein, yang diklaim Syiah sebagai imam mereka, tidak pernah mencaci sahabat dan sesama umat Islam.
Maka tulisan singkat ini bukan untuk ‘mengagungkan’ almarhum karena meninggal dalam keadaan tersenyum seperti kesaksian sang kakak, tetapi lebih sebagai ibrah dan renungan bagi kita. Agar kita bersiap menghadapi kematian dengan memperkokoh iman dan meningkatkan ketaqwaan. Terus menambah amal shalih dan tidak berhenti berjuang membela Islam. Hingga sampailah kita pada satu kalimat nasehat: “Dulu saat kita lahir orang-orang tersenyum dan kita menangis. Dan biarlah ketika kita mati, giliran orang-orang menangis, dan kitalah yang tersenyum.” [bersama dakwah]