[Cerpen] Allah, Kapan Giliranku?

0
1049

“Ima, kenapa kemarin nggak datang?” tiba- tiba Budhe Ratmi muncul dari balik rak Indomaret dan langsung menanyaiku.

“Eh Budhe Ratmi, ngg …” aku terdiam sepersekian detik, “Ima kemarin ada acara lain Budhe,” jawabku tak berbohong. Namun tak sepenuhnya benar.

“Keluarga besar kita ngumpul semua lo Ma di acara pengajian dan arisan keluarga kemarin, ustadz yang ceramah juga te-o-pe, TOP Ma!” Budhe Ratmi lancar melanjutkan ceritanya seraya terus tersenyum. Moga- moga cerita Budhe cepat selesai dan aku segera bisa pulang, please Allah! Aku berdoa dalam hati.

o0o

Sesampai di rumah aku langsung masuk ke kamar. Ku ucapkan salam pada Ibu yang terlihat berjalan menuju dapur. Maaf ya Budhe, Fatimah nggak bermaksud bohong. Acara lain Fatimah kemarin membaca buku di dalam kamar. Ya, sendirian saja. Fatimah bosan terus- terusan ditanyai keluarga besar mana nih calon suami Fatimah, kapan akan menikah, kapan akan menyebar undangan, kapan kapan dan kapan?

Aku menghela nafas panjang. Sebulan lagi Idul Fitri akan tiba, pasti pertanyaan- pertanyaan senada akan sering ku dengar. Aku menghela nafas lagi.

o0o

Hari ini hari ke sebelas bulan Ramadhan tahun ini. Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan tiba- tiba dengan Budhe Ratmi di Indomaret kemarin berlalu. Alhamdulillah, target mengaji hari ini sudah tercapai, malah lebih hampir setengah juz.  Iseng ku buka Opera mini di tablet ku, browsing sebentar sambil baringan sepertinya tidak masalah, batinku berbisik. Lagi pula masih jam sembilan malam.

Aku mampir sebentar ke beberapa situs berita berbahasa Indonesia, bosan, lalu aku beralih ke situs berita Indonesia berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Heran, tak lama di sana aku close juga tab- tab di browser, tumben, tidak ada berita yang menarik. Oia, mampir ke facebook ah, lama tak berkunjung, aku bahkkan lupa kapan terkahir kali mengunjunginya. Wow, banyak banget notifikasinya! Aku mulai mengeceknya satu per satu.

Waah, Adit teman kuliahku sudah menikah. Demikian juga Dinda, temanku sejak SMA yang kalem. Mereka menikah di ahad terakhir bulan Sya’ban, beberapa hari sebelum Ramadhan. Aku melewatkan dua invitation yang mereka sampaikan via facebook. Barakallahulaka wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fii khair. Semoga Allah memberikan berkah atas kalian dan semoga mengumpulkan kalian dalam kebaikan. Aamiin.

Hhh, aku menghela nafas panjang. Berapa undangan lagi yang harus aku terima, kapan giliranku untuk menyampaikan undangan, Ya Allah? Aku jadi ingat alasan kenapa aku malas sekali membuka facebook. Ya, tak lain karena banyak foto- foto pernikahan, foto bayi- bayi mungil yang baru lahir, foto keluarga muda, bahkan ada foto- foto pre-wed dengan pose- pose yang seharusnya belum boleh dilakukan laki- laki dan perempuan bukan muhrim. Bukannya aku iri, bukan. Toh aku paham betul, menikah tidak hanya sekedar meng-update status di facebook menjadi Married, bukan hanya sekedar halal berfoto mesra bersama pasangan, dan hal- hal semacamnya. Aku paham menikah membawa konsekuensi besar, dunia dan akhirat. Hanya ada rasa tak nyaman yang terlintas, manusiawi bukan? Aku bermonolog.

Ku letakkan tablet lalu bergegas menuju cermin di dekat lemari bajuku. Aku memang tak secantik Asmirandah, tapi aku cukup manis juga. Aku memang tak selangsing dan semampai model Indah Kalalo, tapi aku cukup tinggi dan bahkan dulu aku termasuk Pasukan Tujuh Belas di Paskibraka Kota-ku. Di usiaku yang ke-27 ini, aku telah mendapatkan gelar master dari sebuah perguruan tinggi di Taiwan. Tentu saja aku mendapatkannya dari beasiswa. Dan aku sekarang adalah seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta multinasional, dengan status karyawan tetap sejak 2,5 tahun lalu.

Rasanya aku juga bukan orang yang tak tahu agama. Aku terus dan terus belajar. Di lomba tahsin yang diadakan oleh Masjid Istiqlal akhir bulan lalu, Alhamdulillah aku menjadi juara ke-3, satu- satunya perempuan yang termasuk dalam 5 besar. Aku juga selalu menjaga pergaulan dan sikapku dengan semua lelaki yang ku kenal, entah atasan, partner kerja, customer maupun teman setim di kantor. Sepertinya Sari yang duduk dua meja dariku tidak lebih pandai mengajinya daripada aku. Fifi teman kuliahku juga sepertinya tidak terlalu cantik. Namun, mereka semua sudah menikah. Bahkan kini Sari sedang hamil dan Fifi sudah mempunyai bayi lucu berusia 3 bulan. Astagfirullah! Ya Allah, kenapa aku jadi mebanding- bandingkan dan tidak bersyukur begini. Astagfirullah hal adzim.

Aku melangkah kembali ke kasur dengan sejuta pikiran berkecamuk. Kira- kira apa ya yang dicari oleh para lelaki di luar sana sebagai syarat  menjadi pendamping hidup? Aku kurang apa ya? Jelas- jelas Rasullullah mengatakan bahwa wanita dinikahi karena empat perkara, kecantikannya, keturunannya, hartanya, serta agamanya  dan yang paling baik adalah memilih karena agamanya. Aku tak bisa menjawab pertanyaan monologku.

Bzzz, tablet ku bergetar tanda ada pesan masuk. Ada pesan dari group whats app teman- teman akhowat, perempuan, seangkatanku ketika kuliah dulu. Ku baca satu per satu pesan yang masuk.

“Sebuah ringkasan dari Ust. Salim A Fillah, satu hal yang seringkali dilupakan oleh banyak wanita adalah bahwa kemuliaan wanita tidak bergantung pada laki- laki yang mendampinginya. Tahu dari mana? Allah meletakkan nama dua wanita mulia dalam Al Qur’an, Maryam dan Asiyah. Kita tahu, Maryam adalah wanita suci yang tidak memiliki suami, dan Asiyah adalah istri dari manusia yang sangat durhaka, Firaun. Apakah status itu mengurangi kemuliaan mereka? No! Itulah mengapa, bagi wanita di zaman Rasulullah dulu, yang terpenting bukan mendapat jodoh di dunia atau tidak, melainkan bagaimana memperoleh kemuliaan di sisi Allah.”

Deg, jantungku serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik. Ku lanjutkan membaca pesan balasan dari temanku yang lain.

Memangnya menikah itu perlombaan lari? Jadi ada yang lambat menikah? Cepat menikah? Semua orang paham bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan. Sayangnya, tetap saja banyak yang mendefinisikan ‘telat menikah’, atau sebaliknya ‘pernikahan dini’. Tidak ada standar kapan harus menikah, karena semua orang khas. Jika tiba masanya, maka pasti akan terjadi”  Kali ini Tere Liye, penulis Bidadari- Bidadari Surga yang angkat bicara.

Deg, kembali aku tertegun membacanya. Tanpa terasa air mata bergulir di pipiku. Aku bergegas ke kamar mandi untuk wudhu. Terima kasih Allah, Engkau telah mengingatkanku dengan caramu yang indah, terima kasih telah memberiku teman- teman yang menguatkanku, Ya Rahman. Sabarkanlah aku, kuatkanlah aku dan mungkin juga saudara- saudaraku di luar sana yang merasakan hal yang sama hingga saat kami tiba. Kami akan menjemput berkahmu dengan sabar, Ya Rabb. Astagfirullah, Astagfirullah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Oleh: Ika Usfarina Dhamasari, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat

Tinggalkan Balasan