Ujian Nasional telah usai. Siswa-siswa SMA dan yang sederajat sudah mendapatkan pengumuman tentang berita kelulusan mereka. Di tengah kontroversi yang mengiringi, Ujian bikinan pemerintah itu tetap saja berlenggak-lenggok angkuh menyelesaikan tugasnya dalam menentukan masa depan anak-anak bangsa. Tadi saya lihat di koran, di Banyuwangi hanya 3 orang yang tidak lulus, dan di Situbondo ada 5 orang yang kurang beruntung. Entah, apakah hasil tersebut merupakan indikasi keberhasilan sistem pendidikan di negara kita atau malah sebaliknya. Yang jelas, praktek kecurangan dalam Ujian Nasional belum sepenuhnya hilang dan teratasi.
Ada beragam ekspresi siswa dalam merayakan kelulusan mereka, dari yang ekspresi ‘putih’ hingga ekspresi ‘hitam sehitam-hitamnya’. Ada yang bersujud penuh syukur, bersedekah, hingga berpesta pora. Yang sudah tradisi, corat-coret baju lalu berkonvoi keliling kota.
Saya kemarin melihatnya. Saya melihat bagaimana ekspresi para siswa itu sedang mencorat-coret baju temannya menggunakan pilox, saling bertanda tangan, dan berfoto bersama. Kemarin saya juga terjebak macet akibat konvoi para siswa yang tengah kegirangan tersebut. Mereka tertawa lepas hingga kelihatan seluruh isi mulutnya.
Sebenarnya apa yang mereka rayakan? Apakah keberhasilan mereka menjawab soal-soal ujian? Saya rasa tidak hanya sekedar itu. Ada yang lebih inti daripada berhasil menjawab soal-soal ujian. Hemat saya, mereka tengah merayakan kebebasan. Ya, kebebasan. Mereka merayakan kebebasan mereka dari pendidikan yang selama ini melarang mereka melakukan tindakan vandalisme (corat-coret dan semacamnya). Corat-coret tersebut merupakan simbol kebebasan dari sistem pendidikan yang selama ini menjajah mereka.
Apakah salah melakukan corat-coret untuk merayakan kelulusan? Hmmm, pertanyaan ini mungkin lebih pantas dijawab oleh bapak-bapak dan ibu-ibu praktisi pendidikan.
Oleh: Muhammad Rizkil Azizi, Jember Jatim