Burung adalah makhluk yang unik. Dari segi bentuk, ia bisa dibilang sebagai kreasi Allah yang paling indah dan variatif. Bentuk dan ukuran fisik serta warnanya sangat beragam dan mengagumkan. Ditambah lagi dengan penamaan-penamaan yang diberikan manusia yang begitu beragam sesuai dengan bahasa dan budaya dimana burung-burung ditemukan.
Burung juga adalah binatang yang begitu dekat dengan manusia. Dulu, burung pernah berfungsi menjadi kurir udara yang sangat efektif dalam komunikasi antaran manusia. Bahkan, jenis-jenis burung tertentu dianggap menyimpan kekuatan magis dan menjadi piaraan kebanggan para raja dan bangsawan. Dan saat ini, ketika hutan semakin menyempit dan populasi burung beranjak punah, manusia berinisiatif membudidayakan hampir semua jenis burung. Mereka diperjualbelikan mulai dari kalangan anak-anak sampai para penghobi dan kolektor kelas atas. Mereka juga dilombakan dan dikonteskan mulai tingkat desa sampai tingkat internasioanal. Ya, Semua itu pertanda betapa akrabnya dan tidak terpisahkannya dunia burung dengan kehidupan manusia.
Burung juga adalah hewan yang universal dan populer. Ada dibawah kolong langit manapun di dunia ini. Dikenal oleh masyarakat dan budaya manapun dalam sejarah manusia. Inilah mungkin alasan kenapa Allah SWT menggunakan amsal burung-burung untuk menyampaikan pesan-pesan universal al-Qur’an. Melalui personifikasi burung, pesan-pesan al-Qur’an menjadi begitu nyata, empiric, serta mudah dicerna dan dipahami oleh siapapun manusia, serta dalam lintas ruang waktu dimanapun dan kapanpun.
Dalam al-Qur’an tak kurang dari sebelas kali Allah memakai amsal burung (Thair). Semuanya menggambarkan dan mengilustrasikan dengan begitu hidup dan nyata tanda-tanda kekuasaan Allah SWT serta menyampaikan dengan begitu jelas pesan-pesan-Nya. Salah satunya adalah ketika Allah memakai amsal burung (al-Thair) untuk mengilustrasikan kemahakuasaanNya dalam mengontrol alam semesta dan kehidupan di dalamnya, yakni dalam surat an-Nahl:79 dan Al-Mulk:19:
أَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ مُسَخَّرَاتٍ فِي جَوِّ السَّمَاءِ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (النحل 79)
Artinya: Tidakkah mereka mengamati burung yang terbang di angkasa, Allah lah yang mengendalikannya. Di balik itu ada tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang beriman (an-Nahl:79).
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ (الملك 19)
Artinya: Tidakkah mereka mengamati burung di atas mereka, membentangkan dan mengepakkan sayapnya. Allah Yang Maha Pengasih lah yang mengendalikannya. Dia Maha Melihat segala sesuatu (Al-Mulk:19).
Dua ayat dari dua surat yang berbeda ini sama-sama memakai amsal burung (الطير). Artinya, Allah SWT mengaitkan pesan yang terkandung dalam dua ayat tersebut dengan objek yang begitu nyata dan mudah diamati. Tujuannya tentu agar pesan-pesan tersebut dapat dipahami dan dicerna dengan mudah tanpa harus berpikir keras dan mendalam.
Kedua ayat tersebut juga sama-sama diawali dengan ungkapan yang sama, yakni ألم يروا artinya tidakkah mereka melihat, memperhatikan, mengamati, atau memikirkan. Dalam karekteristik bahasa al-Qur’an ungkapan ini selalu dipakai ketika al-Qur’an berbicara tentang hal-hal yang nyata dan empiric. Bentuknya memang berupa kata tanya, tapi bukan untuk dijawab, melainkan untuk menggugah hati dan pikiran manusia agar memikirkan dan memperhatikan hal-hal yang nyata tapi tidak mereka hiraukan. Burung yang terbang di udara adalah hal nyata dan bisa diamati oleh siapapun. Tapi tidak semua orang kemudian memikirkannya dan memahaminya sebagai tanda kekuyasaan Allah. Umumnya orang hanya melihat dan memakluminya, selebihnya dianggap sebagai suatu yang biasa.
Selanjutnya kedua ayat ini, dengan ungkapan yang berbeda namun bermakna sama, mengarahkan kita semua kepada focus yang harus diamati tentang burung. Ayat pertama memakai ungkapan الطير مسخرات في جو السماء, sementara ayat yang kedua memakai ungkapan الطير فوقهم صافات ويقبضن. Kedua ungkapan ini menggambarkan hal yang sama, yakni burung yang terbang melayang di angkasa. Kedua ayat ini menegaskan kepada kita semua bahwa fenomena burung terbang melayang di angkasa itu sesungguhnya bukan hal biasa. Ada kekuatan yang kasat mata yang membuat burung-burung tersebut bisa menjaga keseimbangannya sehingga bisa terbang dengan irama dan arah yang diinginkannya. Ada kekuatan yang tak terlihat yang membuat burung-burung tersebut melayang melawan gravitasi bumi sehingga mereka tetap di udara dan tidak jatuh ke bumi. Kekuatan-kekuatan yang tidak terlihat itu adalah “tangan” Allah. ما يمسكهن إلا الله ….. ما يمسكهن إلا الرحمن…. Terbang dan melayang di angkasa bukan dalam kendali burung itu sendiri. Burung-burung bahkan tidak menyadari kemampuan mereka terbang dan melayang di udara. Allah lah yang mengontrol dan mengendalikan itu semua. Allah lah yang memberikan keseimbangan kepada burung-burung itu. Allah pulalah yang membebaskan mereka dari gravitasi bumi sehingga mereka tetap di angkasa. Allah lah kekuatan tak terlihat di balik fenomena agung ini. Tanpa kuasa dan kasih sayang Allah hilanglah keseimbangan burung-burung dan jatuhlah mereka ke bumi.
Lebih jauh, kedua ayat tersebut juga menyiratkan pesan kepada kita bahwa hidup kita di dunia ini dengan segala pernik-perniknya pada hakikatnya ibarat burung-burung yang terbang melayang di angkasa. Semuanya bisa berlangsung semata-mata hanya karena kasih sayang Allah. Tanpa kuasa dan kasih sayangNya punah dan selesailah hidup ini. Hidup kita ibarat burung melayang, jika dilepas oleh Allah matilah kita. Sehat kita juga seperti burung melayang, jika Allah melepasnya jatuh sakitlah kita. Jabatan pun begitu, jika Allah melepasnya hilanglah ia. Memori kita pun juga seperti itu, jika Allah melepasnya lupalah kita. Dan seterusnya, dan seterusnya…..
Biasanya, kesadaran dan pengakuan akan kemutlakan kuasa dan kendali Allah atas hidup kita hanya kita rasakan pada kondisi tertentu saja. Misalnya saat kita sakit keras, atau saat kita berada di atas kapal di tengah laut dengan ombak besar. Atau ketika kita berada dalam pesawat udara yang terbang di tengah cuaca buruk. Pada kondisi-kondisi tersebut kita lebih mengingat Allah dan menyadari kemaha kuasaanNya. Kita tersadar betapa lemahnya kita. Kita sadar betapa kita tak punya kendali apa-apa atas diri kita sendiri. Seiring dengan itu kita merasa betapa kuasanya Allah. Tapi, seperti biasa, perasaan seperti itu sirna segera ketika kita sembuh, merapat di dermaga, dan mendarat di tempat tujuan.
Itu sikap hidup yang salah. Hidup dan kehidupan kita semuanya – dimana dan kapanpun serta dalam kondisi apapun – pada hakikatnya sedang “melayang”. Semuanya diluar kendali kita. Semuanya dalam kendali Allah SWT. Semuanya ada semata karena kuasa dan kasihsayang Nya. Ayat pertama memakai ungkapan ما يمسكهن إلا الله …..menegaskan bahwa Allah mengontrol itu semua dengan kuasaNya secara mutlak. Ayat kedua memakai ungakapan ما يمسكهن إلا الرحمن… menegaskan bahwa Allah mengontrol semua itu dengan kasih-Nya. Kendali-Nya meliputi semua makhluk, termasuk manusia yang tidak taat kepada-Nya. Kontrol-Nya begitu mutlak sekaligus penuh cinta kasih. Namun, Sekali Dia menginginkannya lepas maka lepaslah semuanya, kun fayakun…
Setiap hikmah punya dimensi imperative. Hikmah kedua ayat ini antara lain memanggil dan menyadarkan kita semua bahwa di dunia ini kita pada hakikatnya tengah hidup dalam kendali mutlak Allah. Bukan dalam kendali kita. Maka tidak ada pilihan lebih bijak daripada selalu bersyukur atas semua yang kita miliki, semua yang kita jalani, semua yang kita alami…., dan melihat itu semua sebagai kesempatan terbatas yang diberikan oleh Allah untuk dimanfaatkan sesegera dan sebaik mungkin untuk mengabdi dan mendekat kepada-Nya.
Oleh: Amirul Mukminan, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Malang